Catatan Zulnadi :MAFRI AMIR Sudah Dipanggil Sebelum Naik Haji

by -

Catatan Zulnadi :MAFRI AMIR Sudah Dipanggil Sebelum Naik Haji

Senin siang tanggal 27 Desember 2021, beredar kabar, di WA grup maupun di FB, sahabatku Dr.Mafri Amir telah meninggal di Jakarta. Saya disaat itu baru berlabuh di pelabuhan Sioban, Tua Pejat, Mentawai. Inna lillahi wa Inna Ilaihirojiun.

Memang kurang lebih sebulan lalu, Ia mengalami stroke. Kami, beberapa orang alumni Semangat sempat zoom dengan beliau untuk menghibur. Ia duduk lemah di kursi roda mengikuti gurauan kami.

Sebelum kena stroke, Almarhum, pulang ke Padang dalam rangka hajatan menaiki rumah barunya di Korong Gadang, Kuranji, tanggal 16 Oktober.
Sayang saya, juga tidak sempat hadir karena ada keperluan lain. Rupanya itulah momen terakhir untuk bersua dengannya.

Mafri Amir, Gatot Santoso dan Saya boleh dikatakan tonggak mudo di Harian Semangat yang bermarkas di Balai Prajurit Imam Bonjol 50 Padang. Sedangkan tonggak tuo kami saat itu adalah bapak MS.Sukmajaya, pemimpin Redaksi, bapak Rusli Syaridin, Wapimred dan bapak Effendi Koesnar pimpinan usaha. Alfatiah untuk beliau yang telah mendahului kita semua.

Tiga sekawan tapi beda aliran adalah sosok yang selalu mewarnai berita di Semangat pada tahun 1980-an hingga kami memutuskan memilih jalan sendiri-sendiri alias tidak bergabung lagi dengan kapal Balai Prajurit ini.

Pergaulan saya dengan Almarhum (Dr.Mafri Amir) berawal tatkala sama bergabung di Semangat tahun 1980. Kala itu kami di samping Wartawan juga kuliah. Almarhum kuliah di IAIN Imam Bonjol sedangkan saya di Universitas Bung Hatta bersama Gatot Santoso.

Saya tidak tahu persis tahun berapa Almarhum tamat, tapi yang jelas Ia telah bergabung saja menjadi staf pengajar di Perguruan Islam IAIN Imam Bonjol Padang hingga hijrah ke Jakarta. Saya di yudisium Desember 1987 dan wisuda April 1988.

Sosok Almarhum adalah sangat sederhana dengan postur pendek, namun memiliki visi jauh ke depan. Motto Semen Padang, betul betul mendalam diamalkannya. Ia telah berbuat sebelum yang lain memikirkannya, baik untuk Semangat terlebih untuk dirinya sendiri.

Dengan bermodalkan motor skuter Vespa, Mafri Amir tiap sore datang ke Redaksi untuk menstorkan sejumlah berita.

Gatot Santoso dan saya, sering berkelakar dengan almarhum yang terkadang melampaui garis etika. Namun itu tidak merusak silaturrahmi.

Dalam berkelakar itulah kami sering memanggil almarhum dengan sebutan Ji, maksud Haji yang karena Almarhum kuliah di IAIN yang sudah tentu ilmu agamanya lebih luas dan mendalam. Soal amalan adalah tergantung masing masing dengan Khaliknya

Almarhum setiap merespon garah kami selalu ditanggapi positif. Misalnya di panggil Aji atau Ji saja, Ia menjawab Aamiin. Sebab kata kata itu adalah doa.
Memang sebutan haji kepadanya akhirnya menjadi kenyataan, sedangkan saya masih dalam daftar tunggu hingga sekarang.

Satu hal yang tak terlupakan hingga kini, setiap Almarhum menyerahkan beberapa naskah berita, oleh Gatot satu persatu lembaran berita itu dicium. Dari pencium itulah diketahui apakah berita tersebut berisi atau tidak.

Memang Almarhum tampilan beritanya selalu melakukan wawancara sejumlah nara sumber, baik pejabat maupun pengusaha. Dari wawancara itulah diketahui, apakah berita berisi atau tidak.
Oleh rekan kita Gatot Santoso diterawang dengan penciuman.
Berita berita Almarhum sangat bervariasi yang terkadang juga menggegerkan banyak pihak.

Biasanya kalau berita pesanan, oleh Almarhum dikawal sampai ke percetakan dan pagi pagi langsung pula mengambil beberapa eksamplar sebagai bukti sudah terbit. Sebab di Semangat itu korektorpun bisa nukar berita, meskipun sudah disetujui pimpinan.
Oleh karena itu, berita berita yang sifatnya sponsor, wartawanya harus berpandai pandai. Mulai dari pimpinan hingga ke pekerja lay out/korektor.

Saya melihat Almarhum cukup tenang dalam menghadapi segala persoalan, baik internal maupun eksternal.
Orang tua Almarhum sering datang ke kantor yang mungkin saja persoalan keluarga.

Suatu ketika, Gatot Santoso yang sering nyeleneh itu, bertanya pada Bapaknya yang sudah berjam jam menunggu kedatangan Mafri di kantor.
“Kok ndak menunggu di rumah saja pak”, tanya Gatot.
“Maleh wak tagaduah lo keluarganyo beko”, jawab bapak Almarhum.
Tentu saja kita tidak menafsirkan hubungan keluarga Almarhum kurang baik dengan istrinya. Bisa saja maksud Bapak Almarhum murni ingin tidak menyusahkan menantunya.

Dan begitu Almarhum muncul, mengetahui ada Bapaknya. Almarhum langsung mendatangi dan bicara dan terkadang dibawa agak menjauh dari kami. Entah apa yang dibicarakan kami tidak pula bertanya.

Itulah sekelumit kenangan saya dengan Almarhum semasa di Semangat yang penuh lika liku kehidupan, yang tak pernah terlupakan. Selamat jalan Sahabat, semoga syorgalah di tangani mu, Tuhanlah di sisi mu.**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.