Dhimam Abror Djuraid ;KORUPSI DAN JUAL BELI DEMOKRASI

by -

Dhimam Abror Djuraid ; KORUPSI DAN JUAL BELI DEMOKRASI

Israel bisa maju karena negara Yahudi itu takut kepada negara-negara Arab di sekelilingnya. Singpura menjadi negara maju karena takut kepada Indonesia dan Malaysia. Korea Selatan sangat maju karena takut terhadap Korea Utara. Jepang amat sangat maju karena takut pada China.

Prof. Salim Said menyimpulkan, sebuah negara akan maju kalau ada faktor yang ditakuti. Prof Salim melanjutkan, itulah sebabnya mengapa Indonesia tidak bisa maju karena tidak ada faktor yang ditakuti. Jangankan takut kepada negara lain, terhadap Tuhan pun orang Indonesia tidak takut. Buktinya? Semua pejabat disumpah di bawah Kitab Suci. Tapi, setelah selesai disumpah langsung korupsi. Itu bukti bahwa bangsa Indonesia tidak kenal takut. Begitu simpul Prof Salim.

Tak biasanya Salim Said bercanda seperti itu. Tapi kali ini sepertinya dia sudah betul-betul frustrasi dengan korupsi di Indonesia. KPK pun tidak membuat koruptor takut atau jera. Bahkan Tuhan pun tidak digubris, buktinya dana pengadaan Alqur’an pun ikut dikorupsi.

Prof Dr Nurdin Abdullah gubernur Sulawesi Selatan yang dicokok KPK (27/2) menjadi bukti baru bahwa KPK dan Tuhan tidak membuat takut. Sehari sebelumnya Pak Gubernur melantik 11 kepala daerah di Sulawesi Selatan hasil pilkada serentak 2020. “Demi Allah saya berjanji..” Kata Nurdin ketika mandu sumpah para kepala daerah itu. Sehari kemudian ia dicokok bersama sekoper penuh uang rasuah bernilai miliaran.

Korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya, kata Bung Hatta. Selama hidupnya Bung Hatta sangat terkenal bersikap zuhud dan hidup sangat bersahaja. Sebuah kisah yang masyhur menyebutkan Bung Hatta ingin membeli sepasang sepatu Bally yang diiklankan pada sebuah suratkabar. Bung Hatta menempelkan guntingan foto sepatu itu di meja kerjanya dan menabung berbulan-bulan sebelum bisa membeli.

Itulah cerminan integritas pejabat zaman itu. Pejabat zaman sekarang, sepatu Bally dan sekalian liburan ke Bali bisa didapat dan dilakukan kapan saja. Tinggal telepon, sepatu Bally langsung cemepak di depan mata, tiket dan hotel mewah di Bali pun sudah komplet.

Bung Hatta menuai protes ketika menyebut korupsi sudah membudaya di Indonesia. Budaya harusnya berasosiasi dengan hal-hal positif. Misalnya, pertanian adalah budaya karena melibatkan kebiasaan masyarakat mengolah tanah, bercocok tanam, dan menghasilkan produk yang bermanfaat. Tapi, korupsi sebagai budaya? Yang dimaksud oleh Bung Hatta adalah budaya kita menunjang suburnya korupsi, terutama budaya feodal warisan zaman kerajaan yang kemudian makin disuburukan oleh penjajah Belanda.

Seorang pejabat harus bersifat benevolent, loman, dermawan kepada teman, sahabat, kerabat, dan handai tolan. Ia harus menolong dan membantu memberi pekerjaan dan menolong orang sekitar dan banyak menyumbang kegiatan sosial dan keagamaan. Karena itu setiap ada pejabat yang dicokok karena korupsi, tetangga-tetangga yang diwawancarai media selalu mengatakan bahwa sang koruptor orang baik nan dermawan.

Seorang pejabat yang lurus dan tidak memakai jabatannya untuk menolong teman dan keluarga akan dijauhi dan dirasani karena dianggap pelit dan sombong. Seorang hakim agung asal Jawa Timur yang bertugas di Mahkamah Agung terkenal sebagai pejabat yang pelit karena tidak pernah mau menolong teman atau saudara yang punya masalah hukum. Petinggi MA itu tidak punya banyak teman dan pensiun menjadi peternak di kampungnya. Beruntung dia sekarang menjadi anggota Dewan Pengawas KPK, sehingga KPK masih bertaji dan bisa membekuk dua menteri dan satu gubernur plus beberapa kepala daerah.

Almarhum Adam Malik memopulerkan istilah “Semua Bisa Diatur” yang sampai sekarang masih dikutip oleh semua orang dan menjadi frasa yang khas dalam khazanah Bahasa Indonesia. Adam Malik yang berlatar belakang wartawan adalah menteri luar negeri legend yang sangat piawai dalam diplomasi luar negeri meskipun tidak pernah mendapatkan pendidikan formal diplomasi. Ketika wartawan asing menanyakan terjemahan Inggris dari kalimat “Semua Bisa Diatur” Adam Malik menjawab sambil tersenyum lebar “All are Aturable”.

Tentu saja Adam Malik yang fasih berbahasa Inggris dan lancar beberapa bahasa Eropa tahu terjemahan leterlijk frasa itu. Tapi penerjemahan harfiah tidak akan tepat menggambarkan konteks kalimat itu. “All are Managable” bukan terjemahan tepat, makanya Malik menyebutkan “All are Aturable”. Yang dimaksud mengatur bukan me-manage. Mengatur punya makna konotatif menyiasati atau malah mengakali dan membohongi aturan. Laws are made to be broken, aturan dibuat untuk dilanggar. Begitu kata pepatah Inggris. Aturan hukum memang ada, tapi aturan itu bisa diatur lagi supaya lebih teratur.

Adam Malik yang kemudian menjadi wakil presiden mendampingi Pak Harto dikenal sebagai pejabat yang jujur dan bersih. Ungkapan itu mungkin bisa disebut sebagai otokritik terhadap Orde Baru yang ketika itu banyak digerogoti kasus megakorupsi  seperti korupsi Ibnu Sutowo. Malik tentu paham bahwa mengritik rezim Pak Harto adalah tindakan yang melanggar fatsoen politik karena ia bagian dari rezim. Salah satu cara otokritik yang tepat adalah menyindir rezim dengan frasa semua bisa diatur.

Sejarawan Onghokham menelusuri sejarah korupsi yang sudah muncul sejak zaman feodal para raja sampai zaman penjajahan, dan berlanjut sampai zaman kontemporer sekarang. Ong menyimpulkan bahwa korupsi yang akut akan menimbulkan kebencian rakyat yang bisa berujung pada pemberontakan. Perang Jawa yang dahsyat pada 1825 sampai 1830 yang dipimpin Pangeran Diponegoro adalah perang melawan korupsi akut rezim Belanda dan para penguasa lokal feodal peliharaan Belanda.

Rakyat sangat menderita karena tanam paksa dan pajak ugal-ugalan yang diterapkan Belanda, dan masih ditambah lagi oleh pungutan liar oleh para penguasa feodal. Korupsi sudah meluas secara akut mulai dari level regent, para bupati, sampai lurah dan bekel. Semua berlomba-lomba memeras rakyat dengan berbagai pajak yang mencekik leher. Bahkan para penjaga pintu desa pun bisa mengutip pungli kepada siapa saja yang lewat. Kebencian rakyat yang memuncak membawa pada pemberontakan yang meluas ke seluruh Jawa. Belanda nyaris bangkrut karena Perang Diponegoro. Hanya melalui manipulasi taktik busuk sajalah Belanda bisa mengalahkan Diponegoro yang dijebak dengan perundingan palsu di Bagelen dan kemudian ditangkap dan diasingkan ke Makassar sampai wafat.

Para ahli sejarah sering mengutip l’histoire se repete, sejarah selalu berulang. Apa yang terjadi pada Perang Diponegoro bisa berulang kapan saja dan dimana saja. Korupsi yang akut dan merajalela akan membawa pemberontakan rakyat.

Prof. Syafii Maarif menyebut korupsi di Indonesia sekarang ini ibarat penyakit kanker stadium empat, nyaris tidak ada obatnya dan pasien hanya tinggal bisa berdoa sebelum ajal tiba. Penangkapan Nurdin Abdullah menunjukkan betapa akutnya korupsi di Indonesia. Nurdin, seorang profesor, ilmuwan lulusan Jepang yang cemerlang, dianggap menjadi representasi politisi genre baru di Indonesia, racikan antara pemimpin lokal yang berintegritas dan seorang ilmuwan yang merakyat, membuat nama Nurdin melesat meteorik. Ia menjadi bupati Bantaeng dua periode sebelum kemudian menjadi gubernur Sulawesi Selatan. Namanya malah sempat muncul sebagai calon presiden alternatif. Kejujuran dan integritasnya membuat ia mendapat penghargaan anti-korupsi “Bung Hatta Awards” pada 2017. Pada 2015 ia mendapat anugerah “Tokoh Perubahan”.

Tapi rupanya Nurdin terjebak dalam pusaran korupsi anggaran. Ia diduga menerima suap dari sebuah proyek infrastruktur dari seorang pemenang tender. Para pemburu rente, rent seeker, seperti ini menjadi bagian dari lingkaran setan korupsi di Indonesia. Mereka menjadi bandar politik yang menjadi bohir membayari proyek politik yang mahal, dan sebagai imbalannya mereka menerima proyek dengan memanipulasi proses tender.

Jual beli demokrasi ini disorot oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam “Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and State in Indonesia” (2019). Biaya politik menjadi sangat mahal karena partai politik meminta mahar yang mahal untuk membayar tiket pencalonan. Biaya semakin mahal karena ada operasi vote buying, jual beli suara, dan money politics, politik uang yang dioperasikan oleh tim sukses.

Tidak ada sumber dana yang paling mangkus untuk membiayai operasi politik ini kecuali menggadaikannya kepada para bandar politik dengan imbalan proyek. Praktik klientelisme seperti ini menjadi praktik standar yang berlaku di seluruh Indonesia. Mahfud MD sendiri mengakui adanya praktik bandarisme dan klientelisme itu. Hal itulah yang kemungkinan menjerat Nurdin Abdullah sekarang ini.

Karena Nurdin resmi jadi tersangka maka Bung Hatta Awards harus ditarik kembali karena Nurdin tidak bisa dikategorikan lagi sebagai tokoh anti-korupsi. Tapi penghargaan “Tokoh Perubahan” sebaiknya tetap dipertahankan, atau bila perlu ditambah lagi, karena Nurdin betul-betul berubah dari profesor menjadi tersangka koruptor. ()

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.