HASRIL CHANIAGO;PERSAHABATAN LINTAS BENUA DENGAN SAUDARA MUSLIM BOSNIA

by -

HASRIL CHANIAGO;PERSAHABATAN LINTAS BENUA DENGAN SAUDARA MUSLIM BOSNIA

Persaudaraan kadang hanya bisa dirasakan, terpancar dari pandangan mata, sekalipun tak bisa diungkapkan dengan kata-kata karena perbedaan bahasa. Itulah yang saya alami dengan Bapak Osman Valjevac, seorang saudara Muslim dari Bosnia Herzegovina.

Awal bulan Maret 2017 yang dingin di Masjidil Haram, Mekah, saya shalat Subuh bersebelahan dengan seorang Pak Tua berkulit Eropa. Semula saya tidak tahu orang mana. Jerman, Turki, Rusia, atau dari mana? Yang pasti dia seorang Muslim. Seusai shalat Subuh berjamaah dan berdoa, saya sapa dia: Assalamu’alaikum, Brother.

Dia menjawab salam saya. Lalu saya tanya dalam bahasa Inggris, dia berasal dari negara mana? Saya tidak mengerti kata-kata jawabannya, tetapi rasanya saya pernah mendengar bahasa seperti yang dia ucapkan. Lalu terdengar sebuah kata, nama sebuah negara yang rasanya sangat akrab di telinga saya: Bosnia!

Tak salah lagi. Dia berasal dari Bosnia-Herzegovina. Negara yang sebuah sudutnya dekat Kota Mostar pernah saya kunjungi dari Kota Split (Kroasia) ketika meliput Perang Bosnia bulan November-Desember 1992.

Untuk memastikan dia memang dari Bosnia, saya sebut kata: “Sarajevo?” Dia mengangguk berapa kali dan cahaya matanya berbinar-binar. Kami berjabatan tangan lagi.

Lalu tanpa tahu apakah dia juga bertanya, saya sebutkan saya dari Indonesia. Eh, tiba-tiba matanya makin berbinar-binar bahagia. “Jakarta?” tanya Pak Tua sekitar 70 tahun itu.

Nyambung! Tapi karena sulit berkomunikasi dengan kata-kata saya keluarkan pulpen dan secarik kertas dari tas, saya tulis nama saya. Lalu saya tunjuk diri saya. Saya minta dia menulis namanya dengan bahasa isyarat. Dia pun menuliskannya: OSMAN VALJEVAC.

Masya Allah. Lalu saya tanya, kenapa dia kenal Jakarta. Dia meraih lagi carik kertas tadi dari tangan saya. Lalu dia tulis nama: HARUN VALJEVAC, JAKARTA.

Siapa? Tanya saya. Yang saya dengar dia menyebut kata “brother”. Berarti ada saudaranya di Jakarta. Luar biasa! Dia minta lagi kertas tadi. Lalu dia tulis di bawah nama Harun: INFOBIP, lalu ada kata FACEBOOK. Ouw, berarti nama yang dia sebut itu ada di FB. Sebelum berpisah, kami bersalaman lagi. Lalu saya berikan kartu nama saya. Pak Osman memberikan isyarat akan menyimpan kartu tersebut.

Kembali ke Tanah Air setelah melaksanakan umrah, saya cari nama Harun Valjevac di FB seperti yang ditulis Pak Osman. Ternyata nama itu ada. Lalu saya chat Harun dalam bahasa Inggris melalui mesenger. “Saya bertemu saudara Anda di Mekah ketika umrah awal Maret lalu”. Harun langsung membalas chat saya, Pak Osman itu ayahnya, bukan saudaranya. Katanya ayahnya telah cerita bertemu seseorang dari Indonesia ketika umrah. Masya Allah! (Lihat chat di bawah)

Harun ternyata seorang manajer profesional, ketika itu bertugas sebagai Area Manager INFOBIP, Telkomnya Bosnia, di Jakarta. Ia sudah lebih setahun di Jakarta dan ternyata sudah pandai bahasa Indonesia. Dia pun memberikan no WA dan akun Instagram-nya. Sejak itu kami sering chatting lewat medsos, dan janji akan bertemu bila saya ke Jakarta. Tapi pas saya ke Jakarta bulan April berikutnya, Harun ternyata lagi berweek end ke Bangka. Sampai akhirnya bulan Juni 2017 Harun mengakhiri tugasnya di Jakarta dan kembali ke Bosnia, kami tidak sempat bertemu muka. Tapi setelah di Bosnia, Harun mengirimkan nomor WA barunya kepada saya. Dia juga mengirim foto-foto keluarganya di dekat kota kecil Visoko (40 km dari Sarajevo), termasuk foto Pak Osman tentu saja. Kata Harun, ayahnya yang minta foto itu dikirim untuk saudaranya di Indonesia.

Kami akhirnya terus berkomunikasi. Harun tinggal di ibukota Sarajevo. Tapi kalau dia pulang kampung, Pak Osman, ayahnya, sering minta dichatkan dengan saya melalui WA atau FB.

Akhir tahun 2017 penyair muda Sumatera Barat, Esha Tegar Putra , dapat program stay menulis di Bosnia. Esha pernah bekerja bersama saya di Haluan. Ketika tahu dia akan ke Bosnia, saya pun menitip alamat dan nomor telpon Harun. Ternyata Esha bertemu Harun di Sarajevo dan diajak ke kampungnya bertemu Pak Osman. Sebagai tanda persahabatan, Pak Osman menitip kepada Esha untuk saya sebuah lembaran berjudul “Tabela Pisma Kur’ani Kerima” (kira-kira artinya Tabel cara membaca huruf Algur’an Karim). Sebuah cara membaca Qur’an yang praktis dalam bahasa Bosnia. Walaupun saya tak mengerti benar, tapi saya menangkap makna persaudaraan di sana.

Saya sebenarnya sangat ingin kembali mengunjung Bosnia, sebuah negara berpenduduk mayoritas Muslim di jantung Eropa. Bulan Maret 2020 lalu saya bertemu dengan Dubes Bosnia untuk Indonesia, Dr. Mehmed Halilovic, di Rumah Budaya Fadli Zon di Aia Angek. Saya berikan arsip tulisan laporan saya ketika meliput Perang Bosnia tahun 1992 silam. “Berarti ketika Anda datang ke Bosnia saya masih 12 tahun,” kata Dubes Bosnia kepada saya.

Ketika saya sampaikan keinginan kembali mengunjungi Bosnia, Dubes Halilovic barjanji akan membuat surat undangan bagi saya berkunjung ke Bosnia.

Sungguh, saya sudah membuat rencana untuk berkunjung ke Bosnia bulan April 2021 ini. Saya ingin tinggal 1-2 bulan di negara Pak Osman itu. Program saya ingin menulis sebuah buku tentang sejarah 30 Tahun Bosnia menjadi negara merdeka (dari Yugoslavia) dan akan menulis sebuah novel sejarah. Alhamdulillah, untuk penulisan novel saya sudah mendapat sponsor dari seorang sahabat pengusaha untuk stay menulis 1-2 bulan di luar negeri. Rencana mau mengunjungi Bosnia pun sudah saya sampaikan ke Pak Osman dan Harun. Mereka ternyata sangat gembira. “Pak Hasril nanti tinggal di kampung kita saja. Ayah saya pasti sangat senang,” katanya.

Tapi sayang Covid 19 menjadi pademi dunia. Rencana ke Bosnia jadinya pasti tertunda. Dalam suasana kebatinan seperti itu, hari Sabtu malam kemarin saya dapat kiriman pesan dari Harun, dan gambar ayahnya Pak Osman sedang membaca Qur’an. Dan yang membuat saya haru, kartu nama yang saya berikan empat tahun lalu oleh Pak Osman dijadikan sebagai marker (penanda) yang dia selipkan dalam Kitab Suci itu. Hari berikutnya, Harun mengirim lagi foto Pak Osman sepulang dari masjid habis menunaikan shalat zuhur dengan latar pemandangan hamparan salju musim dingin di Visoko: “-6C” tulis Harun tentang suhu di “kampung kita”.

Sungguh, persahabatan dan persaudaraan ini makin kuat memanggil saya kembali mengunjungi Bosnia. Saya ingin menyaksikan bagaimana pertumbuhan sebuah bangsa yang pernah sangat menderita akibat perang dan dalam 30 tahun bisa bangkit menjadi bangsa yang kembali sejahtera.

Sebagai gambaran, ketika perang, seperti dikatakan Imam Zijad Delic, pejuang Muslim Bosnia yang saya wawancara di Kota Split, gaji seorang dokter masa itu hanya cukup untuk membeli setengah pasang sepatu. Kini, hampir 30 tahun kemudian, pendapatan per kapita penduduk Bosnia sudah mencapai US$14.000 lebih (lebih 3 x Indonesia). Apa rahasianya. Itulah yang ingin saya ketahui dan tulis dalam sebuah buku.

Bosnia makin memangil-manggil. Tapi sayang pademi C 19 masih belum tentu ujungnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.