Imbal Balik (Trade Off) Kebijakan Peralihan (Transisi) Energi;Oleh Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)

by -

Imbal Balik (Trade Off) Kebijakan Peralihan (Transisi) Energi;Oleh Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)

Pemerintah sedang berupaya melakukan kebijakan transisi energi atau menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah peralihan dari suatu keadaan, tindakan, kondisi atau tempat saat ini ke keadaan, tindakan, kondisi atau tempat yang lain disektor energi. Kebijakan peralihan (transisi) energi setidaknya diarahkan oleh adanya permasalahan internal dan pengaruh eksternal atau perkembangan internasional. Secara internal, data konsumsi energi dan alokasi subsidi serta defisit minyak dan gas bumi (migas) yang terjadi serta menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatasinya di satu sisi. Disisi yang lain, secara eksternal pengaruh isu perubahan iklim dan pencemaran udara oleh sisa hasil pembakaran bahan bakar (emisi) yang mengakibatkan kerusakan lingkungan menjadi perhatian dunia.

Sehubungan dengan permasalahan peralihan energi ini, maka relevan untuk dikaitkan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo berulang kali (terakhir 3 September 2022), mengenai membengkaknya subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp502,4 triliun. Yang dikeluhkan adalah soal selisih untuk menambal ongkos harga jual dengan harga pokok produksinya dengan menggunakan uang negara yang semakin meningkat. Arahnya jelas kepada pentingnya kebijakan peralihan penggunaan konsumsi energi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke bahan bakar energi sumber alternatif lain non fosil atau energi baru dan terbaharukan serta konversi energi (EBTKE).

*Insentif, Disinsentif Dan Subsidi*
Salah satu kebijakan yang disiapkan pemerintah dalam upaya melakukan transisi energi adalah melalui pemberian insentif sejumlah Rp5 triliun bagi kendaraan bermotor. Insentif yang dialokasikan itu, menurut Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian Airlangga Hartarto disiapkan pemerintah untuk kendaraan listrik berdasarkan harga. Namun, mengacu pada keterangan pers Menko Perekonomian yang disiarkan Youtube Sekretariat Presiden, pada hari Rabu 21 Desember 2022, ternyata tidak semua jenis kendaraan akan mendapatkan insentif dimaksud. Sementara itu, yang memegang peranan kunci proses transisi energi di negara-negara maju justru sektor otomotif yang mengkonsumsi jumlah BBM terbesar.

Memang benar, bahwa pemerintah di negara-negara Eropa memberikan insentif kepada sektor otomotif melalui desain menutup kemahalan harga (capping price) kendaraan listrik. Dengan kata lain, insentif yang dialokasikan sejumlah Rp5 triliun itu adalah untuk meringankan harga beli calon konsumen penggunanya. Berarti, harga satu unit motor dan mobil listrik tidaklah murah dan mungkin hanya akan menjangkau kelompok masyarakat konsumen yang kaya saja. Sedangkan bagi konsumen pengguna kendaraan bermotor potensial yang masih mengkonsumsi BBM bersubsidi jenis pertalite mungkin akan kesulitan menjangkau harga jual motor listrik.

Padahal, jumlah uang negara yang diberikan pemerintah kepada masyarakat konsumen agar harga jual BBM bersubsidi terjangkau pada tahun 2022 adalah sejumlah Rp242,5 triliun. Masing-masing dialokasikan Rp93,5 triliun untuk kuota atau jatah BBM jenis pertalite 23,05 juta kilo liter (KL), dan Rp149 triliun bagi jatah solar sejumlah 15,01 juta KL. Berdasarkan data jumlah alokasi anggaran subsidi BBM dari pemerintah itu jelas menunjukkan, bahwa untuk jenis BBM solar adalah yang terbesar walaupun jumlah volumenya lebih kecil. Artinya, setiap kilo liter solar dibantu harganya oleh pemerintah rata-rata Rp9,9 juta lebih atau per liter nya Rp9.900. Sedangkan untuk pertalite dengan volume yang lebih besar 23,05 juta KL hanya dibantu pemerintah harganya sejumlah Rp93,5 triliun atau per satu kilo liter sejumlah Rp4,036 juta, satu liternya hanya Rp4.036 saja.

Data dan fakta itu membuktikan, bahwa bantuan harga jual untuk BBM jenis solar-lah yang dialokasikan lebih banyak oleh pemerintah pada APBN, dan bukan pertalite yang dikonsumsi oleh kurang lebih 122 juta sepeda motor. Jadi, keluhan beban APBN yang membengkak, angka-angka itu “berbicara” dan menunjukkan senyatanya kemana subsidi mengalirnya. Bahkan termasuk kasus-kasus pencurian dan penyimpangan alokasi subsidi solar yang marak terjadi. Yang memprihatinkan lagi adalah kasus yang sedang diusut Bareskrim Polri, terkait perjanjian jual beli BBM non tunai antara PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dengan PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT), kejadiannya pada rentang tahun 2009-2012 lalu, dan diduga menyebabkan kerugian negara mencapai hingga Rp 451,6 miliar.

Lalu, apa sebaiknya kebijakan yang manjur (efektif) dan mangkus (efisien) bagi pemerintah dalam upaya melaksanakan transisi energi ini agar kasus mangkrak dan penyimpangan dapat diantisipasi sedini mungkin? Pertama, pemerintah harus melakukan sosialisasi dan publikasi secara massif kepada masyarakat mengenai manfaat dan dampak peralihan konsumsi energi atau transisi energi ini. Keseriusan pemerintah akan diuji pada tahap ini, sebab hanya sebagian kecil masyarakat yang memahaminya dan memberikan kepeduliannya atas kebijakan tersebut.

Tanpa sosialisasi dan publikasi massif apalagi kajian yang tidak komprehensif sejak awal, maka kasus mangkraknya program penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) dengan mengeluarkan biaya investasi SPBG yang rata-rata sejumlah Rp17 miliar, kembali terjadi dan negara yang dirugikan!

Kedua, soal insentif kendaraan listrik sejumlah Rp5 triliun jelas jumlah alokasi anggaran yang terlalu kecil jika dibandingkan dengan angka subsidi BBM jenis solar yang berjumlah Rp149 triliun, sementara alokasi subsidi BBM jenis pertalite hanya sejumlah Rp93,5 triliun bagi pengguna 122 juta unit motor. Oleh karena itu, harus ada imbal balik (trade off) insentif dari pemerintah melalui disinsentif kepada pengguna solar subsidi, lalu dialihkan untuk insentif bagi pengguna motor listrik agar program peralihan konsumsi energi (transisi) ini berhasil dan berdaya guna.

Imbal balik subsidi solar ini dapat memicu masyarakat konsumen membeli kendaraan listrik dengan infrastruktur penyedia pengisian daya (charges) lebih mudah dan murah di rumah masing-masing, khususnya di wilayah perkotaan. Kebijakan imbal balik ini juga sekaligus mampu mengatasi pasokan berlebih (over supply) PLN atas skema kontrak perusahaan pembangkitan independen (Independent Power Producer/IPP) yang merugikan.

Ketiga, insentif pada harga kendaraan listrik akan lebih mudah diterapkan apabila produksi kendaraan listrik memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dengan porsi lebih besar ketimbang menggunakan produk impor.

Dengan demikian, nilai tambah produksi (added value) serta dukungan bagi pengembangan industri motor dan mobil listrik di dalam negeri akan memacu pertumbuhan ekonomi nasional lebih baik dan mensejahterakan masyarakat. Kecintaan pada produk motor dan mobil listrik akan semakin tumbuh seiring terbukanya lapangan pekerjaan baru untuk mendukung kebijakan transisi energi pemerintah. Sekali lagi, sosialisasi dan publikasi secara massif memegang peranan penting keberhasilan dan kegagalan mencapai sasaran pasar (market development) 20 persen mobil listrik atau 400.000 unit yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.