Karya-Karya Terbaik Kelompok Perupa “Hidup” Yogyakarta Berpameran di Parak Seni Bodeh Ambar Ketawang- Sleman.

by -
Ahmad Sobirin, Soldier, Oil on Canvas, 71 x 62 x 12 cm, 2020.

SEMANGATNEWS.COM – Lima perupa yang bersatu dalam kelompok “Hidup” sejak 16 Maret hingga 16 Mei 2021 mendatang melakukan pameran seni rupa bersama di Parak Seni, Bodeh, Ambar Ketawang, Gamping, Sleman Yogyakarta.

Pameran yang menampilkan belasan karya dua dan tiga dimensi itu merupakan hasil penjelajahan kreativitias lima perupa yakni Ahmad Sobirin (38 th), Basrizal Albara (54 th), Nugroho (45 th), Purwanto (39 th) dan Robert Nasrullah (44 th).

Kecuali Robert Nasrullah yang lulusan Prodi Seni Rupa UST Yogyakarta  itu, empat peserta lannya merupakan jebolan ISI Yogyakarta. Kelimanya bukan nama asing dikalangan seniman seni rupa Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya dengan sejumlah pameran bergengsi dalam dan luar negeri.

Basrizal Albara, Garuda, Besi, Kayu, Batu Ametis, 180 x 180 x 90 cm, 2020.

Kurator pameran, Mikke Susanto, dalam tulisan pengantarnya sebagaimana yang disampaikan kepada semangatnews.com, menyebutkan, situasi pandemi covid 19 kali ini memang membuat kita serba salah. Tak pameran resah. Bikin pameran juga bisa disalahkan. Tak ramai, dikatakan sepi. Ramai, disusupi ketakutan dan masalah para seniman. Artinya, tidak melukis, tidak enak. Melukis terus, butuh biaya dan “masukan”. Tidak pameran, dikatakan tak eksis.

Covid menyebabkan segalanya berhenti, setidaknya melambat. Mau tak mau para seniman harus lebih kreatif menjalani tanggung jawab profesinya. Meskipun dalam kondisi “gelap”, banyak diantara para perupa yang tetap nekad berpameran. Maklum, profesi terus wajib dipegang teguh, dipertaruhkan sampai titik darah terakhir. Bukan seniman jika hanya karena kondisi, lalu menyerah. Sedangkan pekerjaan dan idealisme masih banyak yang harus diungkap dan diperjuangkan, tulis Mikke Susanto.

Dengan idealisme yang kuat dan dalam kondisi yang “gelap dan lemah” itulah, sejumlah lima perupa Yogyakarta ini sepakat membentuk kelompok.  Mereka mulai berkumpul pada akhir 2019 sampai awal 2020, sebelum KATALOG PAMERAN HIDUP 1 pandemi Covid 19 merebak. Tepatnya sebelum kasus pertama Covid tersiar di Indonesia. Kelimanya kerap bertemu dan berdiskusi di sejumlah agenda pameran maupun kunjungan antar pribadi. Pertemuan intensif mereka sesungguhnya terjadi di sebuah ruang pamer yang kini dikenal dengan nama “Parak Seni”.

Nugroho, All Mercy Full, Andesite Stone, 60 x 45 x 30 cm, 2021.

Pengamat dan kurator seni rupa, Muharyadi, yang secara visual turut mengamati foto-foto karya pameran, ketika diminta komentarnya perihal pameran lima perupa tersebut menyebutkan, dalam kondisi bagaimana pun teman-teman perupa Yogyakarta, diakui tak pernah henti untuk berkarya, berpameran dan berkarya lagi dengan karya-karya terbaik yang lahir seperti air mengalir.

Ini sebuah konsistensi dan sikap idealisme mereka terhadap dunia yang digumuli dan tak pernah henti. Persoalannya, apakah karya-karya mereka mampu merayakan mata penikmat bahkan mampu menghipnotis mata banyak orang, jelas tidak akan terlepas dari persoalan adanya keunikan tema, bentuk dan makna yang dimunculkan, ujar Muharyadi memberi ilustrasi ringan.

Mengingat kelahiran dan kehadiran karya seni ke hadapan publik tidak lahir begitu saja tanpa adanya latar belakang pemikiran, maksud maupun tujuan yang mengandung nilai-nilai. Karya seni dapat saja diciptakan dan lahir demi nilai estetis semata untuk memenuhi tuntutan kebutuhan manusia akan keindahan.

Robert Nasrullah, Mencari Suaka, Acrylic, Pencil, Marker, on Canvas, 150 x 150 cm, 2013.

Namun karya yang diciptakan tidak serta merta hanya berorientasi pada nilai estetis semata, tetapi juga dapat mengangkat, membawa, mengolah dan mencerminkan seperangkat nilai-nilai kebudayaan dan pandangannya sendiri terhadap nilai-nilai yang telah ada. Tanpa terkecuali saat pandemi covid.19 terus menggejala keseluruh lapisan masyarakat saat ini.

Karena itu apa yang digelar lima perupa di Parak Seni dengan karya-karya yang tampil untuk publik seni itu saya menjadi teringat akan pendapat Albert Einstein  tentang hidup, bahwa, hidup itu seperti bersepeda. Kalau kamu ingin menjaga keseimbanganmu, kamu harus terus bergerak maju, ujar Muharyadi memberi perumpamaan. (FR).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.