Kisah Masa Kecil Nasrul Abit: Kehidupan Sulit, Terpaksa Merantau ke Jambi

by -
Nasrul Abit saat berbaur dengan siswa SD.
Nasrul Abit saat berbaur dengan siswa SD. | Semangatnews.com

SEMANGATNEWS.COM – Nasrul Abit yang kini sukses memimpin negeri, ternyata dulunya pernah hidup sulit.

Kehidupan ekonomi keluarganya di Labuhan Tanjak, Air Haji, Pesisir Selatan, Sumbar, cukup susah ketika Nasrul Abit berumur dua tahun.

Hal ini membuat ayah Nasrul Abit memboyong keluarga pindah ke desa Pulau Lintang, Sarolangun, Provinsi Jambi. Desa ini adalah tanah kelahiran ayahnya.

Di daerah rantau tersebut, keluarga mencoba peruntungan baru dalam mencari dan memenuhi nafkah keluarga.

Baca juga: Gempa M 6,0 Guncang Mentawai, Nasrul Abit Mengimbau Rakyat Tetap Waspada

“Alhamdulillah, setelah menetap di Pulau Lintang, tanda-tanda kehidupan ekonomi keluarga mulai membaik,” kata Nasrul Abit baru-baru ini.

Di sini, kata dia, sang ayah mencari nafkah dengan berkebun dan berjualan getah karet.

Sedangkan amak Nasrul Abit membantu perekonomian keluarga dengan berdagang kecil-kecilan berupa barang-barang untuk keperluan rumah tangga.

Di desa ini pula lahir kedua adik Nasrul Abit, yang bernama Nurhayati dan Muklis Yusuf.

Sementara Nasrul Abit pun sudah mulai masuk sekolah karena umurnya sudah enam tahun. Pria bernama kecil Asrul itu masuk sekolah SD Penarun, Sarolangun.

Baca juga: Sepenggal Kisah Nasrul Abit: Anak Nelayan dari Kampung Pelosok yang Sukses Pimpin Negeri

Suatu ketika saat Nasrul Abit duduk di kelas 1 SD (tahun 1962), datanglah kakek dari amaknya yang bernama Ayek Buyung Ucu.

Kakeknya itu meminta ayah dan dirinya untuk kembali lagi ke kampung halaman di Labuhan Tanjak, Air Haji.

Menurut sang kakek, ada tanah pusaka di kampung dan tidak ada yang merawat atau mengelolanya lagi.

“Karena permintaan tersebut, akhirnya, datanglah kakek dari Amak yang bernama Buyung Yusuf, dan meminta ayah dan amak beserta keluarga untuk kembali ke Air Haji,” ujarnya.

Nasrul Abit memang cukup beruntung memiliki orang tua yang sangat mementingkan pendidikan.

Baca juga: Nasrul Abit Bakal Sikat Mafia Pupuk, Pastikan Tidak Keluar Daerah

Mengingat pada masa-masa itu kebanyakan para orang tua lebih suka anak-anaknya membantu mencari nafkah saja daripada menempuh dunia pendidikan.

Sekolah belum menjadi kebutuhan serta  kesadaran masyarakat di zaman pascapenjajahan itu.

Tidak mengherankan banyak anak-anak usia sekolah ikut membantu orang tuanya menjadi tulang punggung keluarga.

Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1962, keluarga kembali ke Air Haji.

Di kampung Nasrul Abit khitan, bersamaan dengan pelaksanaan perkawinan mamandanya bernama Usman, adik dari amaknya.

Baca juga: Nasrul Abit Siap Kucurkan 87 Miliar untuk Rajawali Pendidikan di Sumbar

Namun, setelah bertahan beberapa bulan di kampung, kondisi ekonomi keluarga tidak mengalami peningkatan. Mata pencaharian melaut dan bertani tidak maksimal.

Di laut, ikan semakin sukar didapatkan, sebab cuaca saban hari tidak menguntungkan. Masa paceklit sedang dihadapi nelayan saat itu.

Begitu pula hasil pertanian selalu mengalami gagal panen, sementara tuntutan kebutuhan ekonomi semakin tinggi.

Setelah itu, atas izin keluarga, sang ayah dan Nasrul Abit kembali lagi ke pulau Lintang, Sarolangun. Sedangkan amak dan adik-adiknya tetap tinggal di Labuhan Tanjak, Air Haji.

Berselang beberapa tahun dalam mengelola ekonomi melalui usaha perkebunan dan jual getah karet, akhirnya sang ayah memutuskan untuk hidup bersama-sama saja di kampung Labuhan Tanjak.

Baca juga: Nasrul Abit Akan Perjuangkan Nasib ASN dan Honorer di Sumbar

Di Labuhan Tanjak Air Haji ayahnya kembali menekuni pekerjaan sebagai pelaut, bertani dan berkebun. Sedangkan Nasrul Abit kembali melanjutkan sekolah.

Nasrul Abit masuk ke Sekolah Rakyat (SR) setara SD di perkampungan Alang Sungkai, yang berjarak sekitar 4 kilometer dari rumahnya. Baik pergi maupun pulang ditempuhnya dengan  berjalan kaki.

Kondisi kebutuhan keluarga makin meningkat, Nasrul Abit kembali mempunyai adik, bernama Isdawati, Enisuarti, dan Epinardi (Alm).

Kondisi ekonomi keluarga juga yang menghukum, maka ketika duduk di kelas VI, Nasrul Abit sempat berhenti sekolah.

Selama masa menganggur, ia semakin giat membantu pekerjaan kedua orang tuanya.

Apalagi saat itu usianya sudah 12 tahun, sehingga tenaganya sudah dapat diandalkan.

Baca juga: Tingkatkan Kunjungan Wisatawan Nasrul Abit Rencanakan Wisata Mancing Keliling Pulau di Carocok Painan

Jika siang hari, ia rajin membantu ayahnya melaut untuk mencari ikan, membantu bertani, berkebun, mengembala ternak, sapi, ayam,maupun itik.

Bila malam menjelang, ia belajar mengaji serta pengetahuan Islam lainnya, dengan beberapa teman sebaya di kampung, di rumah Ucu Uman Is, di Desa Durian Pandan Air Haji.

Pekerjaan yang dilakukan Nasrul Abit, boleh dibilang cukup berat, jika dibandingkan dengan usianya yang relatif muda.

Ia bukan saja membantu mencari ikan atau menanam sayuran, atau menghidupi hewan-hewan ternak, tetapi juga membantu menjual hasil-hasil ikan tangkapannya.

Adakalanya juga ia memetik dan menjual kelapa ke pasar Ganting yang jauhnya sekitar 6 mil dari rumah dengan menggunakan perahu, termasuk membantu amak menjual sayur-sayuran ke muara.

Masih jelas tergambar dalam ingatan Nasrul Abit, ketika ia sedang membantu orang tuanya dan Buyung Garok mencari ikan di pantai Ujung Tanjung.

Baca juga: Nasrul Abit: Moment Penyelenggaraan MTQ Dahsyatnya Al Qur’an Dalam Wujudkan Sumbar Unggul dan Sejahtera

Nasrul Abit yang waktu itu mabuk laut, menunggu orang tuanya di pinggir pantai sambil mencari batu cincin.

Tiba-tiba terlihat segerombolan kerbau dipinggir laut. Lalu ia diserang oleh sekelompok kerbau jalang tersebut.

Nasrul Abit tak panik dan pada waktu itu ia berlindung dengan cara berlari ke arah laut dan menceburkan diri ke dalam air laut. Keberuntungan masih berpihak sehingga dirinya selamat dari amukan kerbau jalang tersebut.

Tidak kurang dari satu tahun, Nasrul Abit kecil sudah bergelut dengan pekerjaan orang dewasa.

Di sisi lain ia berpikir positif, apa yang ia lakukan waktu itu bisa jadi merupakan latihan yang sengaja diberikan orang tuanya, agar ia kelak tumbuh jadi orang yang tangguh, bukan menjadi anak yang lemah dan cengeng.

Baca juga: Nasrul Abit Akan Perjuangkan Nasib ASN dan Honorer di Sumbar

Setelah peristiwa yang nyaris mengancam jiwanya itu, Nasrul Abit selalu termenung. Rupanya secara diam-diam ayahnya memperhatikan kelakuan anaknya, dan bertanya kenapa ia selalu termenung?

Nasrul Abit menjawab bahwa dirinya hampir saja celaka karena diterjang kerbau-kerbau jalang. Ayahnya pun kemudian memberi nasihat.

“Ananda, dalam hidup ini perlu ketabahan dan perjuangan untuk kehidupan yang lebih baik. Ayah rasa kamu harus berfikir apakah akan terus mengikuti jejak ayah menjadi seorang petani dan pelaut.”

“Seandainya ananda ingin merubah nasib, maka harus bersekolah sungguh-sungguh,” begitu nasihat sang ayah yang masih teringat jelas oleh Nasrul Abit. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.