Kisah Nasrul Abit: Jualan Batu Akik hingga Cincau saat STM di Padang

by -
Nasrul Abit saat berfoto dengan siswa SMA di Sumbar.
Nasrul Abit saat berfoto dengan siswa SMA di Sumbar. | Istimewa

SEMANGATNEWS.COM – Tahun 1972, Nasrul Abit lulus Sekolah Teknik ST (setingkat SMP) di Balai Selasa, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Sumbar).

Seperti anak-anak lain, Nasrul Abit juga berkeinginan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah menjadi tekad Nasrul Abit untuk melanjutkan pendidikan.

Bagai pepatah, ‘sekali layar terkembang pantang surut ke belakang’. Atau sama dengan pepatah ‘tak ada kayu janjang dikapiang’.

Baca juga: Kisah Masa Kecil Nasrul Abit: Dulu Bernama Asrul, Berganti saat Masuk Sekolah

Tak hanya satu jalan menuju Roma, begitulah prinsip Nasrul Abit. Setelah mengikuti tes, Nasrul pun berhasil masuk sekolah STM Kotamadya Padang.

Kisahnya, duduk dibangku STM, tidak jauh berbeda dengan ketika sekolah di ST.

Di sekolah menengah teknik ini pun ia harus berdikari dalam hal memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena keadaan keuangan keluarganya di kampung masih belum normal. Makanya ia harus memutar otak, dan berusaha untuk mendapatkan uang.

Bukan berarti pula orang tuanya berlepas tangan, karena setiap dua pekan, datang juga beras dan ikan kering.

Ikan kering ini menjadi menu wajib Nasrul selama kurang lebih tiga taun. Selama sekolah STM, lidahnya terasa ‘padah’ karena seringnya dicekoki ikan asin setiap hari.

Baca juga: Sepenggal Kisah Nasrul Abit: Anak Nelayan dari Kampung Pelosok yang Sukses Pimpin Negeri

Dengan kondisi seperti ini, tidaklah mengherankan banyak pekerjaan yang terpaksa dilakoninya apabila selepas sekolah. Prinsipnya, kerja apa saja yang penting halal, dan dapat uang.

Aktualisasi pelajaran surau yang ia dapatkan dari guru mengajinya Pak Usman Is, tentang sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW, yakni Siddiq, Amanah, Fathanah, dan Tabligh, melekat begitu kuat dan menjadi bekal pokok bagi Nasrul dalam mengarungi kehidupan rantau.

Memang dalam bidang ilmu keagamaan, di samping belajar mengaji dengan gurunya Bapak Usman Is ketika masih duduk di bangku SD, Nasrul juga rajin mengikuti pendidikan subuh, serta mendalami pelajaran ilmu tafsir Alquran.

Bahkan Nasrul sering mengikuti lomba Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ), lomba Adzan, ataupun menjadi Muadzin di masjid.

“Pada waktu tinggal di Simpang Haru, Padang, kurang lebih satau tahun, saya mengajar sholat dan mengaji anak-anak tetangga, pada waktu sore dan malam hari,” terang Nasrul.

Baca juga: Koperbam Teluk Bayur Semangat Bersama Nasrul Abit

Dalam kesempatan lain jika hari libur tiba, Nasrul mengambil bahan batu akik.

Bahan-bahan batu akik dalam bentuk karungan ini ia ambil dari pantai Ujung Tanjung di kampungnya yang memang dikenal sebagai kawasan pantai penghasil berbagai jenis batu akik. Kemudian ia menjualnya di pasar Gon Hoat Padang.

Suatu hari bertolak ke Padang membawa satu karung ukuran kecil batu akik dan ketika hendak menyeberang di kawasan jalan Thamrin (sekarang) Kota Padang, sempat berserakkan batu di jalan raya.

Terpaksa satu persatu dikumpulkan bagi yang kelihatan saja untuk bawa kepada penampung depan masjid Taqwa Muhammadiyah sekarang atau tempat dekat bundaran air mancur Pasar Raya Padang.

Di samping berjualan batu akik, Nasrul juga pernah berjualan cincau, ia masih ingat betul teman-temannya seperantauan seperti Sion, Simen, Ujang Zulkarnain, dan Haminuddin, turut berdagang cincau.

“Kami bersahabat, karena senasib sepenanggungan, sama-sama datang dari Air Haji, mengadu untung di Padang, demi merubah nasib,” kata Nasrul.

Memang perlu semangat besar untuk bisa sekolah di Padang waktu itu. Meskipun demikian, hal itu bukan hal yang aneh dalam kehidupan Nasrul.

Ia memang sosok yang tidak pernah menyerah atau kehabisan akal. Prinsipnya waktu itu adalah bagaimana ia bisa meringankan beban biaya orang tuanya di kampung.

Baca juga: Selain Hobi Memancing, Nasrul Abit Punya Kebiasaan Menulis

Padang memang bukan kota untuk bersenang-senang, apalagi bagi orang seperti dirinya.

Ia berangkat ke Padang untuk sekolah, makanya Nasrul harus putar otak demi pendidikan STM-nya dapat diselesaikan.

Pada akhir tahun 1975, Nasrul berhasil meraih ijazah STM Kota Padang.

Namun kehidupan ekonomi keluarga di kampung belum menunjukan tanda-tanda perbaikan.

Sementara jumlah anggota keluarga sudah bertambah tiga orang lagi yaitu, Isdawati, Eni Suarti, dan Epi Nardi. Dengan demikian, anggota keluarganya menjadi tujuh orang.

Untuk itulah Nasrul ingin merantau ke Tanjung Karang untuk mencari kehidupan yang lebih baik, sekaligus membantu kehidupan orang tuanya di kampung halaman.

Tanjung Karang Kota Impian

Setelah mengantongi ijazah, harapan untuk memperoleh hidup lebih baik, memang masih muncul dan tenggelam.

Terbayang keluarga di Labuhan Tanjak, Ayah dan Amak, kakak, dan adik-adik, yang semuanya berkubang dengan kemiskinan. Bila sudah begini tak terasa air matanya pun meleleh.

“Saya gusar bila perjuangan akan berhenti di tepi Batang Air Haji, terbayang laut lepas Pasir Ganting dan Ujung Tanjung, akankah berakhir di sana?” kenangnya.

Suatu ketika di dalam kegagalan itu, datang salah seorang dari pamannya yang bernama Syahrial, membawa pesan dari Mamanda Ali Umar yang tingal di Tanjung Karang Provinsi Lampung.

Ia mengajak Nasrul agar mau mengadu nasib di Tanjung Karang. Mamanda Ali Umar memang sudah lama merantau kesana.

Baca juga: Nasrul Abit Bakal Sikat Mafia Pupuk, Pastikan Tidak Keluar Daerah

Bekerja sebagai seorang Pegawai Negeri sipil (PNS) pada Dinas Kesehatan, Provinsi Lampung.

Bukan main senang hati Nasrul pucuk dicinta ulam pun tiba, pikirnya dalam hati. Kesempatan tersebut pun tak ingin ia sia-sia kan.

Tanpa berpikir lagi Nasrul menerima tawaran mamanda Ali Umar untuk berangkat menuju tanah rantau yang baru.

Tanah yang kemudian banyak mengisahkan kehidupan duka, suka, tanah nasib, ya, Tanjung Karang. “Mungkin inilah peluang,” pikir Nasrul Abit.

Jika selama ini semasa menjadi anak sekolah beban itu masih bergelayut pada orang tua, namun semuanya kini harus berubah.

Nasrul tetap menginsyafi bahwa tekad untuk berubah tidak segampang mengucapkannya dan tidak semudah membalik telapak tangan.

Langkah itu masih belum jelas hendak dibawa kemana, tidak ada yang tahu. Hanya Allah SWT sang maha penentu.

“Ya Allah bimbinglah langkah hamba-Mu ini.” Inilah munajat yang sering disampaikan Nasrul.

Kalau pun merupakan jawaban, Nasrul merasa bersyukur, apalagi tujuan perantauannya kali ini adalah Tanjung Karang.

Baca juga: Nasrul Abit Akan Perjuangkan Nasib ASN dan Honorer di Sumbar

Sebuah kota yang oleh rabab acap menceritakan negeri ini, sebagai tempat mengadu nasib anak Pesisir Selatan.

Negeri yang juga tersohor sebagai tempat perantauan yang ramah bagi nasib, apalagi di sana tinggal sanak famili termasuk Ali Umar bersama istrinya, etek Ratna Misna dan mamanda Syahrial.

Mereka berdua adalah Mamaknya Nasrul, dan tentu pada prinsipnya, Mamak di Minang dimanapun mereka berdiam, filosofi “anak dipangku kemenakan dibimbiang” (anak dipangku keponakan dibimbing), tidak boleh diabaikan.

Tidak lama berselang, sekitar tanggal 4 Januari 1976, pertama kali Nasrul menginjakkan kakinya di Tanjung Karang.

Kota ini betul-betul dalam kenyataan, bukan mimpi. Tanjung Karang begitu menjanjikan, bahkan semuanya melampaui apa yang ada dalam angan Nasrul selama ini.

Satu-dua minggu Nasrul masih berusaha mengenal lebih jauh kota ini, sekaligus mencari dan memahami tentang apa dan bagaimana kota sebesar Tanjung Karang.

Rasanya ia ingin segera menaklukkannya. Sebagai kota urban, Tanjung Karang dihuni oleh berbagai etnis dan suku yang datang dari penjuru tanah air.

Ada Jawa, batak, Minang, Ambon, China dan suku-suku lain, kehidupan berputar dan berpencar.

Sebagai anak dagang (anak rantau), apapun akan dilakukan Nasrul demi mewujudkan tekadnya mencapai kehidupan yang lebih baik dan bisa membantu keluarga.

Tidak ada pantangan, bekerja dengan baik, serabutan ataupun pekerjaan kasar sekalipun, asal halal.

Apalagi ia ingin agar kehadirannya di Kota Tanjung Karang ini, tidak menjadi beban mamanda Ali umar dan Etek Ratna.

Sebelum mendapat pekerjaan di Tanjung Karang, Nasrul membantu pekerjaan menjahit di tempat Mamanda Syahrial.

Ia juga sempat menjadi buruh bangunan (kenek tukang batu) dan juga mengambil upahan memetik cengkeh Krui Lampung Utara.

Dari upah inilah kemudian ia gunakan untuk pergi mengadu nasib ke Jakarta.

Selama di Jakarta, Nasrul tinggal pada salah seorang pamannya di kawasan Simpruk, Ucu Darwis.

Dari situ surat lamaran pun segera disebar ke beberapa perusahaan, utamanya perusahaan BUMN yang bergerak di bidang jasa konstruksi, sesuai ilmu yang ia miliki.

Salah satu sasaran utama Nasrul adalah perusahaan ternama yang bergerak dalam bidang konsrtuksi dan pembangunan gedung.

Dua bulan di Jakarta mamandanya, Ali Umar meminta Nasrul kembali ke Tanjung Karang, karena Di Jakarta pun ia belum mendapat pekerjaan.

Di Tanjung Karang Nasrul pun menjalani kehidupan yang pernah dilakoninya. Bekerja apa saja yang penting dapat mendapatkan penghasilan.

Ia menjadi kenek tukang batu pada proyek perumahan Teluk Betung-Bakahuni. Rupanya pekerjaan yang dilakukan Nasrul tercium oleh Etek Ratna, ia pun dimarahi.

Setelah itu, Nasrul pun berhenti dan kembali lagi membantu mamanda Syahrial menjahit pakaian.

Mulanya semua berjalan serba sulit, hidup di kota besar seperti Tanjung Karang tidaklah mudah.

Persaingan, dan kompetensi tidak terelakkan, siapa yang kreatif dan aktif, maka dia akan muncul sebagai pemenang. Pemenang dalam kehidupan.

Nasrul mengaku sulit rasanya melupakan jasa Mamak Ali Umar dan Etek Ratna.

“Sepanjang hayat dikandung badan, apa yang beliau berikan sungguh sebuah karya yang tidak ternilai, walau ditimbang dengan emas dan perak sekalipun,” kata Nasrul Abit.

Mamanda Ali Umar membimbing Nasrul layaknya anak kandung. Bahkan tak ada hijab antara Nasrul dan anak-anaknya. Semuanya mendapat kesempatan membangun masa depan yang layak dan cemerlang.

Sampai saat ini, Nasrul menganggap Mamak Ali Umar dan Etek Ratna bukan lagi sekedar mamak dan etek, tetapi sudah seperti orang tua kandung.

Berkat tangan dingin sang mamak, Nasrul menjadi pandai bersikap, bertindak dan bergaul, agar orang senang dengan dirinya.

Ketika masih duduk di sekolah ST di Balai Selasa, pernah juga Nasrul terpikir untuk mengikuti jejak mamaknya.

Tetapi keinginan itu hilang begitu saja karena masalah pendidikan. Lagi pula orang tua Nasrul pasti tidak akan mengizinkan dirinya pergi jauh merantau ke negeri orang jika ujung-ujungnya akan menjadi kuli. Tinggal di kampung saja lebih baik.

“Kalau ka jadi kuli juo manga lah marantau, hujan ameh di rantau hujan batu di kampuang ancak juo di kampuang lai (Bila untuk menjadi kuli buat apa merantau, hujan emas di rantau orang hujan batu di kampung bagus juga di kampung),” ujar Amaknya suatu kali, sebagaimana ditirukan Nasrul.

Namun selepas STM, Nasrul merasa sudah mempunyai modal dasar yang cukup untuk melangkahkan kaki meninggalkan kampung. Karantau madang di hulu babuah babungo balun, marantau bujang dahulu di kampuang paguno balu (merantau bujang dahulu di kampung belum berguna), pepatah itulah yang melecut semangat Nasrul untuk merantau memperbaiki nasib.

Memang serba dilematis, kalau Nasrul ingin tetap bertahan di kampung, tentu ilmu yang didapat selama mengenyam pendidikan akan hilang ditelan waktu.

Percuma susah payah menamatkan sekolah hingga ke Padang, kalau kapal “kembali surut”, kembali ke Air Haji.

Nasrul tidak akan menggadaikan masa depannya, yang telah ia bangun dengan susah payah.

Nasrul bukanlah anak yang cengeng dan nyaman di ketiak Ayah atau Amaknya. Sebagai anak lelaki, Nasrul berkewajiban mengangkat marwah keluarga. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.