Mengunjungi Seniman Seni Rupa “Urang Awak” di Yogyakarta dan Bandung Karya-Karya Patung Bazrisal Al Bara dengan Kekiniannya Hadir Bagai “Seni Pertunjukan”

by -
Pematung Al Bar bersama korator Sumbar Muharyadi di suatu waktu

Catatan : Muharyadi (Laporan Ketujuh)

SEMANGATNEWS.COM – Bazrisal Al Bara “urang awak” kelahiran Bengkalis, Riau, 30 April 1966 adalah sedikit dari pematung Indonesia yang ada saat ini dan tetap saja setia menekuni profesi kesenimannya. Karya-karyanya tidak hanya menarik tetapi juga senantiasa mengusung sesuatu yang baru dan original yang tidak pernah ada sebelumnya dengan menabrak batas-batas seni terdahulu.

Albara, demikian panggilan akrabnya tidak pernah berhenti mengeksplorasi bentuk-bentuk alami tetapi juga membuat eksprimen-eksprimen baru guna mewujudkan karya-karya unik, fantastik bahkan bombastis dikarenakan kepiawaiannya mengolah media yang digunakan hingga menghasilkan karya berbeda dari seniman seniman seni patung yang ada di tanah air saat ini.

Pernah suatu kali saya kaget ketika Albara membeli batu setinggi 180 cm dan sisi lebar 80  x 60 meter dari Pacitan Jawa Timur senilai Rp. 80 juta untuk dijadikan bahan patung. Dapat dibayangkan untuk membeli batunya saja dia telah menghabiskan kocek isi kantongnya puluhan juta  rupiah yang kalau dinilai orang umum cukup mahal. Tapi bagi Albara, harga bukan nomor satu bagi saya, namun kepuasan bentuk batu yang akan dieksplorasi menjadi pilihan terbaik, tuturnya saat ini.

Selain batu, Albara juga  sangat akrab menggunakan bahan marmar bahan yang tak kalah keras dengan batu untuk dieksplorasi dan direspon menjadi sesuatu yang menarik pada karya-karyanya. Salah satunya pada karya berjudul Basrisal Al Bara, Meraih Bintang, 125×135, Marmer, 2018. Karya ini bukan saja unik, menarik tetapi justru mampu menghipnotis mata orang yang melihat dan mengamatinya.

karya Al Bara

Ditelusuri karya-karya seni patung hasil olahan penjelajahan kreativitasnya selama ini. Yang melatar belakangi lahirnya karya Albara kepermukaan, lebih kental  dengan kondisi kekinian atau berbeda dengan seni patung moderen. Dari sini lantas kreativitasnya terinspirasi oleh masa kekinian, meski ia tak luput tetap saja tak dapat dihindari merefleksikan masa lalu sebagai bagian wujud totalitas karya-karya yang dihasilkan.

Lihat karyanya berjudul Yang Pertama  60 x 50 x 12 cm batu alam kecubung, 2019 kita seakan dituntun oleh keindahan batu kecubung yang penuh tekstur dan ritme alam daripada  bentuk batu itu sendiri secara alami. Karya ini sangat mempesona, dari aspek tekstur dan irama yang ada batu kecubung tersebut, kemudian diolah sedemikian rupa menjadi karya bernilai estetik tinggi.

Akan hal ini saya pun merujuk seni patung kontemporer dunia yang menyebutkan bahwa seni patung kontemporer dalam beberapa dekade terakhir berkembang dengan pesat di dunia seni rupa. Patung-patung yang hadir mulai berkembang pesat, patung menjadi semacam “seni pertunjukan”. Seperti di beberapa negara misalnya di Tiongkok, Jepang, Kanada, Swedia dan Rusia.

Karya-karya Albara sejak lama saya lihat tak pernah atau mungkin jarang memunculkan patung realis, naturalis yang menampilkan detail anatomi dan struktur patung yang tertata apik, karena keakraban Albara pada stilisasi, pada volume dan ruang menjadi hal menarik untuk digarapnya.

Merujuk pada karya–karya Auguste Rodin sebagai bahan studi literatur yang dikenal menjadi salah satu pematung Eropa terkenal dari awal abad 20 seringkali disebut sebagai seniman patung Impresionis, karena seni patung modern klasik kurang berminat pada kecendrungan naturalisme, detail anatomi atau kostum dan lebih tertarik pada stilisasi bentuk, demikian juga pada irama volume dan ruang.

Seiring perkembangan waktu, gaya seni patung modern klasik kemudian diadopsi oleh dua penguasa totalitarian Eropa: Nazi Jerman dan Uni Soviet. Sementara di kawasan Eropa lain, gaya ini berubah menjadi bersifat dekoratif/art deco (Paul Manship, Carl Milles), stilisasi abstrak (Henry Moore, Alberto Giacometti) atau lebih ekspresif. Gerakan modernis karya seni patung menghasilkan karya Kubisme, Futurisme, Minimalisme, Instalasi dan Pop art.

karya Al bara

Bagaimana pun Albara, selain memiliki ide-ide menarik perihal seni patung, ia bagaimana pun tetap saja memperhatikan satu  demi satu patung-patung terkemuka dunia, paling tidak menjadi bahan pertimbangan dan rujukkan untuk kemudian bahan riset lahirnya karya-karya patung yang dikerjakannya.

Mengenal lebih jauh Albara yang saat ini dkenal sebagai pembuat patung atau pematung. Dan anak ke 4 dari 7 bersaudara ini yang memang bukan berasal dari keluarga seni, dimana orangtuanya bekerja sebagai pegawai negri yang jauh dari aktivitas kesenian.

Dari banyak bersaudara itu Albara adalah satu-satunya anak dari 7 bersaudara di keluarganya yang memilih di jalur kesenian terutama seni patung. bakat itu terlihat sejak ia kecil yang mulai tertarik dengan kesenian dan ditandai dengan senang menggambar apa saja.

Bakatnya untuk menekuni dunia seni rupa terutama seni patung ditempuhnya mulai SD, SMP, SMSR Negeri Padang (sekarang SMKN 4 Padang) jurusan patung dihabiskannya di Padang Sumatera Barat. Lulus SMSR ia melanjutkan ke ISI YogyakartaI jurusan patung.

Di kampus inilah sejak tahun 1994 silam, Basrizal mulai menekuni dunia patung secara serius, ia memilih patung karena di dalamnya terdapat banyak tantangan dan akan selalu bekerja di teknik-teknik pengerjaan patung serta harus mampu melihat dari segala dimensi.

Hal itu dapat dia buktikan dengan bahan-bahan keras seperti batu, marmer, besi dan bahan keras lainnya dia garap dengan serius dan penuh tantangan. Bayangkan ukuran besar pun dapat ditaklukan dengan mudah sesuai prosedur pekerjaan yang digelutinya.

Albara selain kuliah ia juga berguru pada ilmu dari eksperimen-eksperimen pencarian bentuk-bentuk baru. Keputusannya mendalami seni patung nampaknya tidak akan berubah, karena ia merasa yakin akan pilihan jalan hidup di dunia seni, khususnya seni patung.

Yang lahir kemudian dari hasil penjelajahan kreativitasnya, banyak karya yang telah dihasilkan seniman urakan ini  seperti, tema-tema sosial juga tak luput dari perhatian pematung yang dalam perjalanannya pernah mendapatkan penghargaan Lomba Citra Raya “Patung Monumen Citra Raya”. Karya-karyanya sering ditampilkan dalam pameran-pameran di dan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Semarang, dan lainnya. Salah satu karyanya menjadi koleksi salah seorang kolektor Belanda.

karya Al Bara

Belum lama ini Albara juga memajang karya patung berjudul Garuda (2020) berupa bentuk burung garuda sedang mengepakkan “sayapnya” yang diolah dari akar pohon kayu jati dengan kepala dan kaki dari bahan besi yang mencengkeram batu Amatis (kecubung).

Karya ini sebelumnya mengingatkan orang pada simbol Garuda Pancasila dengan bentuk agak berbeda, tapi dilengkapi dengan bentuk perisai dengan lima simbol Pancasila dan rentangan bentuk pita di baggian kaki bertuliskan: Bhineka Tunggal Ika.

Karya ini sempat dipermasalahkan aparat negara saat berlangsung proses pembuatan karya, karena aparat menilai bentuk karya itu melanggar pasal-pasal dalam KUHP tentang simbol negara dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara, tutur Albara menceritakan.

Albara terpaksa mengalah dengan mengganti bentuk perisai dengan batu dan mencopot tulisan Bhineka Tunggal Ika. Setelah saya berkunsultasi dengan sejumlah pakar hukum UGM Yogyakarta. Hal terbaik tentulah saya lakukan, karena karya saya semata-mata karya seni bernilai estetik, bukan masuk dalam ranah politik. Tapi okelah, “Apa boleh buatlah,” saya juga sangat memahaminya dan tidak berkecil hati kok, tutur Albara tersenyum. (Bersambug)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.