Mengunjungi Seniman Seni Rupa “Urang Awak” di Yogyakarta dan Bandung Rudi Mantofani ; Kenikmatan Seni Bukanlah Kenikmatan Fisik Lahiriah, Tetapi Juga Bathiniah

by -
Seniman Rudi matovani

Catatan :  Muharyadi (Laporan Kesepuluh)

Mengunjungi perupa “urang awak” satu persatu di Yogyakarta dan sekitarnya yang jumlahnya ratusan, tak cukup waktu untuk berlama-lama, terlebih jika mengamati karya demi karya yang dihasilkan dalam ranah kreativitas perjalanan perupa dimaksud. Di Jogjakarta terdapat besar urang awak seperti Sakato Art Community dengan jumlah anggota mencapai ratusan perupa, kelompok Jendela berangggotakan Handiwirman, Yunizar, Jumaldi Alfi, Yusra Martunus dan M. Irfan dan Rudi Mantofani.

Tanpa mengecilkan arti sejumlah nama dan teman-teman yang tak dapat dikunjungi, kecuali sejumlah perupa urang awak yang kami nilai komunikatif baik dari Sakato Art Community dan Jendela dua organisasi yang terus bergiat di ranah cipta karya seni rupa guna meneruskan informasi dari kampung halaman Sumatera Barat kepada teman-teman perupa urang awak.

Satu diantara perupa urang awak itu adalah Rudi Mantofani, sebelumnya saya bertemu sejumlah treman-teman perupa urang awak guna berdiskusi membicarakan persoalan kekinian perihal seni rupa di tanah air terutama yang karya-karyanya di hasilkan perupa urang awak di luar Sumatera Barat.

Karena itu, anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa seni rupa sebagai bagian dari kebudayaan selama ini ikut termajinalkan dibanding seni musik, tari, film, teater, bahkan sastra, ternyata tidak selamanya benar. Buktinya hingga kini banyak seniman seni rupa tetap eksis berkarya dan bertahan hidup dalam derasnya arus perubahan zaman yang kian mengglobal.

Mengutip Freud (2000 : 8) di tangan seniman selalu terdapat kecendrungan lahirnya lahan baru yang tidak kering-keringnya untuk digali dan disiati sebagai bentuk imajinasi dan kretivitas, kecuali batas kemampuan dan kreativitas seniman tersebut untuk menemukan inovasinya telah tumpul. Karena itu bagaimana pun manusia tidak dapat lepas dari seni. Sebagai hasil kebudayaan seni mengandung nilai estetis, ide-ide yang dinyatakan dalam aktivitas atau rupa sebagai lambang atau simbol.

Mengambil contoh dalam peta seni rupa Indonesia sejak lama ternyata banyak tokoh-tokoh asal Sumatera Barat. Dimulai era Wakidi, Oesman Effendi (OE), Zaini, Nashar, Rusli, dan lainnya yang ternyata memiliki nama besar di tanah air hingga ke tokoh-tokoh muda yang kini banyak bermukim dan berkarya diberbagai daerah yang senantiasa melahirkan karya-karya terbaik, tidak hanya dikenal di tanah air bahkan hingga ke mancanegara. Diantara seniman itu, terdapat nama Rudi Mantovani (42 th) anggota Komunitas Seni “Sakato” dan juga bergabung dalam komunitas “Jendela”, tempat berkumpulnya seniman urang awak di Yogyakarta.

Bahkan yang mengejutkan, karya-karya Rudi Mantofani bersama 5 (lima) anggota komunitas Jendela lainnya seperti Handiwirman, Yunizar, Jumaldi Alfi, Yusra Martunus dan M. Irfan kesemuanya dari Sumatera Barat dikategorikan dalam kelompok 500 seniman terlaris dunia versi Top 500 Artprice 2008/2009 yang disusun lembaga analisis perkembangan seni rupa dunia di Perancis.

Perjalanan dan prestasi Rudi, tidak lantas membuatnya cepat berpuas diri dan sombong. Ia pun mengakui, semua itu merupakan anugerah dari Allah SWT yang patut disyukuri, ujar Rudi Mantovani di kediamannya, Jalan Mangkuyudan, Gang Purwodipuran RT 50/RW 13 No. 36 E, Mantrijeron, Yogyakarta, seraya mengajak penulis ke ruang pajang karya-karyanya.

Sejak bermukim dan berkarya di Yogyakarta tahun 1993, Rudi terus meluncurkan karya-karya terbaiknya. Karya-karya itu bukan hanya dipamerankan di Indonesia tetapi juga dibanyak negara Asia bahkan disejumlah negara Eropa tempat bermukim dan berkaryanya seniman-seniman besar dunia, Rudi Mantovani hadir diantaranya.

MENGAKRABI GAMBAR

Kecintaan Rudi kelahiran Padang 21 April 1973, terhadap dunia seni rupa, seperti seni lukis selama ini telah dimulai sejak menduduki bangku pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 14 Kota Bukittinggi (1985). Saat itu bagi Rudi menggambar sama artinya bertutur dan bercerita secara akademik melalui visual garis dan warna, walau terasa naïf bahkan menggelikan, kenang Rudi menceritakan masa lalunya.

Saya pun kemudian ketagihan mencorat coret kertas dalam berbagai kesempatan di sela-sela belajar hingga berlanjut ke SMP Negeri 5 Bukittinggi (1988). Dari corat coret goresan gambar tersebut saya bercerita dan menuturkan apa yang alami, saya lihat melalui pesan garis, warna dan bentuk yang divisualisasikan apa adanya, seraya terus memperhatikan karya-karya ternama yang saya tahu, ujar Rudi.

Memasuki pendidikan SLTA, Rudi Mantofani, anak ke 4 dari 6 bersaudara buah perkawinan Azizmal Mantofani (ayah-alm) dan Yovina Agus (ibu) memilih jurusan seni lukis SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Negeri Padang  sekarang SMKN 4 (1989). Kedua orang tua dan saudara saya mendorong masuk ke sekolah ini. Di kelasnya Rudi mulai mengenal apa sesungguhnya unsur-unsur seni rupa seperti garis, warna, bentuk, ruang, bidang, tekstur sebagai unsur fisik dan unsur psikologis karya menyangkut kejiwaan pada karya secara dasar.

TIDAK DITERIMA DI JURUSAN SENI LUKIS ISI YOGYAKARTA

Menyelesaikan pendidikan di jurusan Seni Lukis SMSR Negeri Padang, Rudi Mantofani ditengah keterbatasan ekonomi orang tuanya mendaftarkan diri ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1993). Tapi apa hendak dikata, di jurusan seni lukis yang selama ini saya dambakan ternyata saya ditolak bahkan dipindahkan ke jurusan seni patung yang tidak saya minati. Karena saat itu pemilihan minat di ISI terdapat 2 (dua) pilihan. Pilihan pertama saya adalah jurusan seni lukis, pilihan kedua seni patung. Karena tidak lolos di seni lukis banyak teman-teman menyarankan saya agar mengambil jurusan seni patung, karena suatu saat nanti kamu bisa pindah ke jurusan seni lukis, ujar Rudi menceritakan pengalamannya.

Hasrat Rudi untuk tetap melukis selain mematung tidak pernah pudar. Melalui kesempatan tertentu ketika saya tidak belajar mematung, saya memberanikan diri menumpang belajar melukis melalui dosen yang mengampu mata kuliah seni lukis. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan, walau dalam waktu terbatas selama bertahun-tahun.

Tapi yang membuat saya kaget baru kuliah semester 2 dalam suatu kesempatam pameran di kampus ISI Yogyakarta, karya patung yang saya buat dari bahan besi langsung di koleksi kolektor terkemuka Dr. Oei Ong Djien. Pameran beriktunya lukisan garapan saya di sela-sela mematung dikoleksi pula oleh Edwin Galeri salah satu galeri terkemuka di Indonesia saat itu.

Namun pengalaman apes saya tiba-tiba, ketika suatu kali dalam persiapan pameran seni lukis di museum sang maestro Affandi Yogyakarta yang pesertanya terdiri mahasiswa jurusan seni lukis, lukisan saya satu-satunya dari jurusan seni patung oleh panitia dinyatakan lolos untuk siap dipamerankan. Tetapi jelang pameran berlangsung, beberapa senior saya dari jurusan seni lukis memboikot keikutkansertaan saya. “Kamu tidak dipertkenankan ikut pameran lukisan, karena kamu dari jurusan seni patung”, kenang Rudi mengenang pembatalan keikutsertaannya.

Rudi pun tidak patah arang dan ia pun menyimpulkan, antara seni lukis dan seni patung sebenarnya tidak ada perbedaan. Yang membedakan adalah persoalan teknis antara seni lukis 2 dimensi dengan seni patung 3 dimensi. Keduanya saya ikuti dengan serius di ISI Yogyakarta hingga menyelesaikan pendidikan sampai mengantar saya berkeliling Asia dan Eropa berpameran. Bahkan banyak pengamat menilai bahwa, karya patung dan karya lukis Rudi sama-sama memiliki kekuatan tersendiri, unik, dan mempesona dengan sentuhan estetika tinggi dan mejadi koleksi kolektor terkemuka Asia dan Eropa.

MENDUNIA

Dalam kariernya sebagai pematung dan pelukis kontemporer yang terus menggejala dibelahan dunia ini, Rudi Mantofani telah puluhan kali berpameran tunggal maupun kolektif di Asia maupun di sejumlah Negara Eropa, diantaranya di Chouhard Galeri Hongkong (2002), Artspace, Jakarta (2003), Art HK International Art Fair, Hongkong (2005), Sureal VS Surealism  IVAM, Valencia, Spanyol (2010), Pleasure of chaos Inside New Indonesian Art, Galeri Milano, Italia (2010), “ArtParis”, Palais, Perancis kontemporer  Art Indonesia, France “(2010), Moca Sanghai, China (2010), “Nanjing Bienalle” “Rainbow Asia”, Seoul Art Centre”, Seoul (2010), ART -12-12 Hongkong International Art Fair, Hongkong (2011), Art Stage Singapore, Marina By Sands Singapura (2011),  “Collection Stage” Singapura Art Museum,  Mart Milano, Italia (2011),  Indonesia Art Today “Artdt Galery”, (Berlin), Solo Ekhibition Hongkong (2014) dan beberapa pameran penting lainnya di Eropa dan banyak lagi.

Saat ditanya apa yang dicarinya dalam berseni rupa – seni patung dan seni lukis — saat ini dan masa mendatang — menurut Rudi tak lebih adalah masalah tanggungjawab guna merefleksikan naluri secara murni. Karena bahasa visual seni rupa pada awalnya bermula dari proses pengamatan dan pendalaman obyek-obyek yang terlihat memunculkan energi dalam merekam penghayatan, keharuan bathin dan keagungan ciptaan Allah SWT. Lihat satu diantara karyanya, “Hijau”, akrilik, 200x400cm/2013-1-2015 adalah refresentasi hubungan manusia terhadap Tuhannya, ujar Rudi yang karya-karyanya telah menghiasi sejumlah galeri dan kolektor seni rupa terkemuka dunia.

Menurut Rudi, kenikmatan seni bukanlah kenikmatan fisik lahiriah, melainkan kenikmatan bathiniah karena semuanya timbul bila kita dapat menangkap dan merasakan simbol-simbol estetik antara pencipta dan penikmat seni. Oleh karena tak heran bila orang sering berpandangan bahwa nilai seni sebetulnya adalah nilai spritual. Kemudian soal harga lukisan maupun patung karya saya ciptakan yang sering ditanyakan kepada saya. Dengan ringan Rudi menjawab ; “apapun yang kita kerjakan diredhai Allah, maka rezeki akan terus mengalir seperti karya yang kita ciptakan, ujar suami Khusnul Hidayah dan ayah dua anak, Azis Ikko (SMP) dan Athaillah(SD) ini mengakhiri pembicaraan. (***).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.