Pameran Tunggal Karya Laila Tifah, Pelukis Wanita Indonesia yang Ulet, Kreatif dan Penuh Kedigdayaan

by -
Laila Tifah, Pelukis Wanita Indonesia yang Tetap Mempertahankan Kepelukisannya dengan Ulet, Kreatif dan Penuh Kedigdayaan

Catatan Kecil : Muharyadi

SEMANGATNEWS.COM Mengutip pendapat Nasjah Djamin bahwa seni lukis kurang memberinya keleluasaan untuk mengemukakan isi pikirannya.  Justru pada Laila Tifah putri Nasjah Jamin melukis bagi dirinya mampu menentramkan jiwanya bahkan menjadi obat yang diperolehnya melalui kerja melukis.  Karena seni lukis bagi Laila Tifah mampu melengkapi kehidupan bathin bahkan alam bawah sadarnya.

Menurut Laila Tifah, bagian menantang dalam berkarya, bukan dari segi teknik atau media yang digunakan. Tetapi menjaga agar pikiran selalu aktif, baik pikiran bawah sadar maupun alah bawah sadar. Itulah tantangan terberat yang senantiasa diupayakan tetap ada dalam diri Laila Tifah. Misalnya bagaimana Laila Tifah memikirkan suatu benda, peristiwa, manusia dalam waktu bersamaan yang dapat menganggunya. Artinya, tema yang diangkat bukan berasal dari sesuatu yang dilihat secara sepintas dan tiba-tiba muncul.

Yang lahir meluncur kemudian adalah akumulasi dari apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan dalam kurun waktu yang lama yang menurut Laila Tifah suatu saat bisa muncul kembali dan menganggu untuk segera di eksekusi menjadi karya dimana saat itu Laila Tifah merasa cukup mendapatkan penafsiran akan suatu benda, pertistiwa.

Jika karya-karya yang lahir dari penjelajahan kreativitas Laila Tifah dirasakan dan diamati sangat personal. Menurut pelukis wanita berusia (49 th) itu tidak mungkin dirinya berkarya yang jauh dari dirinya, jika pun ia bahkan akan mencari hubungan terdekat antara sumber ide dengan dirinya, sebagaimana yang dikemukakan Laila Tifah dalam pameran tunggalnya di Jogja Galeri, Yogyakarta 7 – 17 Februari 2021 ini.

Pameran yang menampilkan puluhan karya ini merupakan pameran tunggal kedua bagi Ifah, begitu panggilan akrab Laila Tifah yang mengusung tema “Sri”. Pameran tunggal pertama telah berlangsung 17 tahun silam persisnya di tahun 2004 di Jakarta mengusung tema “Malam Pertama” yang cukup menarik perhatian piblik tanah air  saat itu.

Dikaitkan kehadiran pelukis wanita di tanah air saat ini, kembali saya teringat akan pendapat  pelukis senior Titis Jabaruddin (77 th) bahwa mempelopori kesataraan derajat antara wanita dan pria di tanah air, maka semangat, perjuangan, keuletan dan kreativitas perupa wanita di Indonesia melalui karya-karya yang ditampilkan selama ini tak pernah gelap.

Satu diantara sedikit nama-nama perupa wanita yang memiliki semangat, perjuangan, keuletan dan kreativitas perupa wanita di Indonesia itu diantaranya adalah Laila Tifah (49 th). Karya-karyanya juga banyak bertutur dengan dunia seputar wanita dengan berbagai persolan dan dinamikanya. Bukan hanya itu, sosok wanita di karya-karyanya memiliki gerak-gerak dinamis, kadang statis tanpa kehilangan nilai kehilangan nilai estetis dalam menyiasati isi, pesan dan tema pada karya-karyanya.

Satua diantara karya Laila Tifah berjudul “Setengah Minang” (2015) karya Laila Tifah yang kini bermukim kediamannya Jalan Pramuka 71 Nglarang, Sidoarum, Sleman Yogyakarta ini merupakan karya yang menampilkan sosok wanita dengan banckround Ngarai Sianok.

Mengamati karya ini satu diantara banyak lukisannya, Laila Tifah, secara imajinantif mengekspolorasi sosok wanita yang sedang tidur berbalut kain batik dengan backround Ngarai Sianok, suatu obyek pemandangan alam yang sangat fenomenal di mata banyak pelukis di tanah air bahkan pelukis mancanegara. Karya yang bermain dengan tarikan garis-garis lembut dan warna kecolatan tua ini terlihat mampu menghipnotis mata penikmat. Ia menyodorkan persoalan yang penuh dramatik dalam puisi dan garis warna.

Obyek Ngarai sianok yang menjadi backround merupakan obyek pemandangan alam yang sangat fenomenal di mata banyak pelukis di tanah air bahkan pelukis mancanegara sekalipun. Karya yang bermain dengan tarikan garis-garis lembut dan warna kecolatan tua ini terlihat mampu menghipnotis mata penikmat. Ia menyodorkan persoalan yang penuh dramatik dalam puisi dan garis warna.

Laila Tifah, anak ketiga dari pelukis dan sastrawan Nasjah Jamin dan penulis buku Gairah untuk Hidup dan untuk Mati dan Hari-hari Akhir Si Penyair tentang Chairil Anwar dan Affandi Pelukis, merupakan satu diantara sedikit pelukis wanita Indonesia yang tetap mempertahankan dunia kepelukisannya dengan ulet dan kreatif. Banyak karya-karya terbaik yang lahir melalui hasil penjelajahan ktreatifvitasnya yang diangkat kepermukaan.

Menurut hemat kita, ditengah gelombang pasang surut dunia seni lukis Indonesia, apalagi saat pandemi covid. 19 ini melingkari kita semua, pemunculan sejumlah pelukis wanita mampu menambah perbendaharaan peta seni rupa Indonesia dan patut diapresiasi secara utuh, karena selain memiliki pengalaman berkarya yang cukup matang, isi dan kontens karya-karya mereka juga syarat makna dan nilai-nilai yang ada di dalamnya, termasuk diantara pelukis Laila Tifah.

Salah satu karya Ifah berjudul Tamasya, 185×300 cm, akrilik, 2020 ia terlihat mengekspresikan suatu emosi perihal tamasya dengan mengangkat kaum gender sebagai “obyek utama” yang dikemukakan melalui karakter dean gerak obyek rata-rata kaum gender. Artinya ifah mencoba menjalankan  ekspresi artistik mewakili eskpresinya yang kian hanyut oleh perasaannya, yang lahir kemudian karya nilai dan makna kebersamaan sebagai bentuk simbolisme karena bagi Ifah karya tidak reproduksi semata dan kenyataan yang kongkret. memuaskan gagasan yang tersembunyi untuk di­lahirkan dengan perantaraan gerak. Idenya dipindahkan ke kanvas sehingga tampilah wujud dibalik tamasya.

Karya Ifah lainnya berjudul Hormat Waluh, 120 x 190 cm, Cat Minyak, 2020 kita telusuri terlihat bagi Ifah merupakan wujud dari ungkapan memuaskan gagasan tersembunyi dengan perantara gerak dinamika orang timur yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan rasa hormat. Karena rasa hormat merupakan simbol budaya yang tetap bertahan bahkan terus  berkembang. Refresentasi memahami simbol merupakan sesuatu yang terus dijalani dan diikuti Ifah dalam hidupnya. Karena fungsi simbol bagi Ifah sangat penting, sebab tanpa memahami simbol sulit bagi manusia untuk dapat memahami perubahan sekaligus menandai proses belajar manusia, bahwa rasa hormat itu memang diperlukan dalam hidup dan kehidupan di muka bumi ini.

Satu lagi diantara puluhan karya Ifah pada pameran tunggal ini mberjudul, Potret Terdakwa, 60×240 cm, akrilik, 2020 cukup menarik perhatian kita. Ifah dalam karyanya ini tidak sekedar mengungkapkan sesuatu yang terlihat mata saja, tetapi juga  ekpresi dan tingkah laku sosok manusia yang digambar menjadi terdakwa dari yang tidak tampak men­jadi bentuk kongkret yang berangkat dari imajinasi Ifah yang kaya corak, ragam, ide, dan fantasi di banyak karya-karyanya. Kepanikan, kegugupan dan rasa bersalah muncul seketika dari sosok terdakwa. Lihat karya Ifah ini, menggambarkan kepanikan, kebingungan dan rasa rasa bersalah itu.

Ifah dalam kariernya sebagai salah satu pelukis wanita yang telah puluhan kali berpameran termasuk dua kali pameran tunggalnya Malam Pertama Rumah Seni Surya Karbela Jakarta 2004 dan Sri di Jogja Galeri Yogyakarta ini jua puluhan berpameran penting lain secara kolektif diantaranya ; Pameran Migran Labour, Ars Longa Gallery, Jakarta Kota, 2010, Pameran Lukisan Sepuluh Warna Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta,2011, Pameran bersama Warna Warni Jakarta, Galeri Sikka, Bali, 2012, Pameran Seni Rupa 11 Pelukis Jakarta, TIM,Jakarta, 2012, Pameran Lukisan 10 Pelukis Perempuan Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta, 2012 dan lainnya. (***)

Muharyadi, Seniman dan Pengamat Senirupa Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.