Pertahankan Potensi Budaya Lokal Hadapi Perubahan Zaman Era Milenial Perlu Disiasati SMKN 4 (SSRI/SMSR) Padang Melalui Proses Pembelajaran

by -
Kunjungan kepala dinas Pendidikan Adib Fikri ke SMKN 4 Padang yang di damping ketua Umum Alumni SSRI/SMSR/SMKN 4 Padang beberapa waktu lalu

SEMANGATNEWS.COM- Potensi budaya lokal, perubahan zaman era Milenial di tengah-tengah derasnya arus globalisasi, perlu menjadi acuan dan kerangka kurikulum kompetensi produktif untuk disiasati sekolah guna dikembangkan sebagai kekuatan sekaligus identitas sekolah.

Istilah potensi mengacu kepada persoalan yang kini masih ada atau setidak-tidaknya tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Lantas jika dihubungkan dengan kondisi realitas di lapangan, seperti apa dan bagaimana pula budaya lokal dilihat dari kontribusinya dalam dinamika dan perubahan zaman di era milenial yang mengglobal saat ini tanpa merusak bahkan menghilangkan nilai-nilai budaya.

Saat ini banyak potensi budaya lokal menjadi menarik jika saja guru sebagai tenaga pendidik dan warga yang ada di sekolah yang cuma ada satu di Sumatera dan tiga di Indonesia itu mampu membaca tanda-tanda budaya lokal dan arus perubahan zaman di era milenial ini.

Hal itu disampaikan Kepala SMKN 4 (SSRI/SMSR) Padang, Taharuddin, S.Pd. MM didampingi Waka kurikulum Belira Verian, S.Pd dan salah seorang guru senior Jasrizal Rasyid, S.Pd, MM saat menjawab pertanyaan Semangatnews.com sekaitan materi kurikulum produktif sesuai muatan kurikulum nasional di ruang kerja kepala sekolah, Sabtu (27/02/21).

Kepala Sekolah SMKN 4 Padang rapat terbatas dengan guru-guru membahas potensi anak didik guna pengembangan budaya dan seni di Sumatera Barat

Menurut Taharuddin, istilah “budaya lokal”, sering diidentikan sebagai budaya asli pada suatu kelompok masyarakat yang menjadi ciri khas atau identitas budaya. Tapi manakala kita ingin mendefinisikan konsep budaya lokal, kita sering terjebak pada batas-batas fisik dan geografis sebagaimana menjadi perdebatan selama ini.

Kekhawatiran kita akan tenggelamnya budaya lokal di era milenial saat ini cukup beralasan. Pada sisi lain kita memerlukan budaya lokal agar senantiasa diperkokoh guna memperkuat jatidiri bangsa dalam menghadapi tantangan global yang kian deras datangnya dari luar, ujar Taharuddin lagi.

Sementara penyusun spektrum dan silabus bidang studi seni budaya kurikulum nasional yang diselenggarakan Kemdikbud RI beberapa waktu lalu, Muharyadi, menyebutkan, budaya lokal sebagaimana yang kita tangkap dari segi hakikat merupakan kebijaksanaan yang berkaitan untuk menetapkan pedoman hidup berbudaya. Artinya pedoman hidup dalam berbudaya dilakukan dengan ungkapan budaya seperti filsafah, pepatah-petitih, berkarya seni rupa dan lain sebagainya.

Berbagai daya dan upaya pun telah dilakukan tanpa mengenyampingkan arus moderenisasi masuknya budaya asing ke tanah air. Termasuk formulasi untuk menggali kembali potensi budaya lokal sebagai bagian budaya nasional selama ini dalam bentuk slogan, untaian kata-kata, bahkan konsep pemikiran pentingnya menggali potensi budaya lokal sebagai jati diri atau identitas masyarakatnya kerap dibicarakan. Tapi sepertinya banyak berhenti di tengah jalan. Salah satu indikasinya ia hanya dianggap remeh temeh atau tidak penting ditengah-tengah derasnya globalisasi. Padahal kita tidak ingin dicap sebagai bangsa yang tidak mewarisi budaya leluhur pendahulu. Problema inilah yang sedang kita hadapi sekarang.

Siswa SMKN 4 Padang di kelas belajarnya

Menurut Muharyadi, di Minangkabau salah satu contoh daerah yang ada di tanah air mengutip falsafah alua, patuik, raso dan pareso (Pamuncak 1935 dan Hakimy, 1991) yang menetapkan dimana alua merupakan ketentuan adat Minangkabau di dalam pergaulan yang digariskan nenek moyang yang menciptakan adat Minangkabau.

Falsafah alua berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Patuik (bahasa Indonesia disebut “pantas”) tidaknya sesuatu kegiatan dilakukan, kemudian Raso (rasa) yang berarti jangan hanya mengingat diri kita sendiri tapi juga mengingat orang lain. Pareso diterjemahkan dengan periksa  merupakan sesuatu yang dapat dirasakan oleh hati manusia yang tidak didapat oleh tubuh atau jasmani, ujar Muharyadi memberi perumpamaan.

Kongkritnya disebut duduak samo randah dan tagak samo tinggi (duduk sama rendah, tagak dalam bahasa Indonesia disebut berdiri sama tinggi) yang menggambarkan kepentingan umum masyarakat Minangkabau dengan sifat kolektif yang begitu menonjol. Ini contoh kecil sebagai ilustrasi. Sementara Indonesia memiliki ratusan suku dan bahasa yang berbeda dengan karakteristik budaya lokal yang berbeda pula. Perbedaan ini merupakan kemajemukan bangsa Indonesia dengan budaya lokal masing-masing daerah.

Di zaman era perubahan sekarang kerap menjadi sinyalemen, dalam proses perubahan sosial budaya muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan. Diantara penyebabnya diduga dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga sedikit sekali budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli, kalau pun tidak dapat dikatakan habis sama sekali.

Apalagi kini, masyarakat berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai dan pandangan hidup yang diterima dari sistem kehidupan misalnya, bagaimana masyarakat berpikir, bertindak, bekerja, berkehidupan sosial, menggunakan waktu, berkeluarga, bertetangga, dan melakukan aktifitas yang dapat dijadikan sebagai gambaran dari nilai-nilai yang diterima masyarakat.

Perubahan dalam masyarakat tidak dapat lepas dari perubahan yang terjadi dalam unit masyarakat yang terkecil seperti rumah tangga atau kelompok keluarga terkecil, karena dipengaruhi oleh perubahan setiap individu yang merupakan bagian dari masyarakat hingga berpengatuh pada perubahan budaya termasuk budaya lokal.

Satu diantara banyak contoh dari sejumlah daerah di Indonesia sebagaimana dilansir banyak media massa baru-baru ini bahwa, beberapa jenis pertunjukkan kesenian tradisional Minang yang selama ini menjadi kebanggan orang Minang berupa rebab dan saluang yang sangat mudah kita temukan di Kota Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia justru di Sumatera Barat sendiri kini mulai mengalami kesulitan untuk menikmatinya. Bahkan untuk Kota Padang sebagai ibu provinsi Sumbar saat ini kita tidak lagi melihat pertunjukkan rebab atau saluang yang dipertontonkan untuk masyarakat.

Beberapa pajangan karya senirupa siswa SMKN 4 Padang di ruang pameran sekolah

Jika dilihat secara kasat mata dari apa yang dialami di Sumatera Barat, tentu hal serupa sekalipun tidak persis sama dapat terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia dalam kasus yang berbeda pula. Inilah sesungguhnya yang menjadi pemikiran kita bersama apalagi kalangan pendidik di sekolah, seniman/budayawan, kalangan akademisi, tokoh masyarakat dan berbagai komponen masyarakat yang peduli pentingnya budaya lokal sebagai kekuatan budaya nasional?

Banyak perumpamaan atau perandaian yang bisa kita tangkap dari potensi budaya lokal jika kita mampu menjadi pewaris atau kelompok-kelompok pendukung potensi budaya lokal dengan beragam fenomena kekayaan etnik di dalamnya untuk tetap menghidupkan, melestarikan bahkan mengembangkannya.

Semakin kuat pendukung potensi budaya lokal maka akan semakin nyata eksistensinya dalam kehidupan masyarakatnya. Namun sebaliknya jika masyarakat kita tidak memperhatikan, mempertahankan bahkan mengembangkan potensi budaya lokal, maka ia akan hilang atau punah dari muka bumi ini.

Bila dikorelasikan dalam rumpun seni budaya – bidang seni rupa dan seni kriya — di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang dan sejak 1994 berubah nama menjadi SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Negeri 4 Padang yang mengemban misi dan tugas menyiapkan peserta didik tingkat menengah sebagai embrio yang berperan serta aktif untuk melestarikan dan menumbuhkembangkan budaya daerah yang ada.

Hal ini tidak terlepas untuk memperkuat jati diri bangsa dan satuan-satuan etnik yang memiliki kebudayaan yang bertali temali dan menjadi alasan penting sebagai alat penyaring budaya global di era milenial terhadap sumber-sumber identitas tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakatnya misalnya pada dasar bidang keahlian, paket keahlian di masing-masing jurusan seni rupa dan seni kriya, ujar Muharyadi memberi ilustrasi.

(IM/ZL) Bersambung

 

Laporan : Imelda Ekawati dan Zaref Lina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.