Semen Padang, Potret Akuisisi
Berujung Kemunduran 5 Pabrik Tidur Nyenyak
Oleh : Syafruddin AL
Akuisisi sering kali dianggap sebagai strategi bisnis yang efektif untuk memperkuat daya saing dan efisiensi perusahaan. Namun, dalam kasus PT Semen Padang yang bergabung dengan PT Semen Indonesia (dulu Semen Gresik) pada tahun 1998 yang kemudian ditentang oleh masyarakat Sumatera Barat, justru terjadi sebaliknya. Alih-alih berkembang, Semen Padang mengalami kemunduran signifikan, kehilangan pangsa pasar, bahkan menyaksikan banyak anak perusahaannya gulung tikar. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah akuisisi ini memang dirancang untuk memperkuat industri semen nasional, ataukah justru merugikan pemain regional seperti Semen Padang?
Akuisisi umumnya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi operasional, memperkuat posisi di pasar, serta mengurangi persaingan antar perusahaan dalam satu industri. PT Semen Indonesia dibentuk sebagai _holding_ yang menaungi beberapa perusahaan semen, termasuk Semen Padang, Semen Gresik, Semen Tonasa, dan Semen Rembang. Dalam teori bisnis, _holding_ seperti ini bertujuan untuk menciptakan sinergi dan optimalisasi sumber daya.
Namun, yang terjadi pada Semen Padang justru sebaliknya. Setelah bergabung dengan _holding_ , Semen Padang tidak lagi memiliki kendali penuh atas pasar dan distribusinya sendiri. Banyak wilayah pemasaran yang sebelumnya menjadi kekuatan Semen Padang diambil alih oleh saudara-saudaranya dalam grup, terutama Semen Gresik dan Semen Cibinong (Sarana Bangun Indonesia/SBI). Akibatnya, volume produksi Semen Padang terus merosot. Empat atau lima dari tujuh cerobong yang beroperasi di masa kejayaannya, kini hanya tinggal dua yang masih berasap (Indarung V dan Indarung VI).Sisanya tidur nyenyak. Kondisi ini mencerminkan penurunan signifikan dalam kapasitas produksi.
*Mati Suri*
Dampak negatif lain dari sentralisasi di bawah holding juga dirasakan oleh anak perusahaan Semen Padang. Salah satu yang paling mencolok adalah “kematian” PT Igasar (kalau masih ada, mungkin dalam kondisi megap-megap), perusahaan yang dulunya berperan besar dalam menampung tenaga kerja, memasarkan produk semen, serta menjadi inspirasi bagi pelaku usaha di Sumatera Barat. “Kematian” perusahaan ini mencerminkan lemahnya strategi manajemen pasca-akuisisi, di mana entitas bisnis lokal kehilangan daya saing dan eksistensi akibat kebijakan sentralisasi yang tidak berpihak pada pertumbuhan daerah.
Salah satu alasan utama merosotnya Semen Padang adalah kebijakan distribusi yang tidak efisien bagi perusahaan ini. Contoh nyata terjadi di Batam, di mana semen yang dijual masih menggunakan karung berlabel Semen Padang, tetapi isinya sebenarnya adalah Semen Gresik. Alasannya, biaya transportasi dari Gresik ke Batam lebih murah dibandingkan mengirim semen dari Teluk Bayur ke Batam. Keputusan ini mencerminkan kebijakan holding yang lebih mengutamakan efisiensi biaya secara agregat, tetapi mengorbankan eksistensi dan pertumbuhan salah satu anggotanya.
Padahal, Semen Padang adalah perusahaan semen tertua di Asia Tenggara dengan reputasi yang telah teruji. Mutu dan kualitasnya sudah dikenal luas. Namun, akibat strategi distribusi yang kurang memperhitungkan keunggulan historis dan daya saing lokal, Semen Padang terpaksa mundur di pasar yang seharusnya bisa dikuasainya.
*Antara Efisiensi dan Keberlanjutan*
Pembentukan _holding_ BUMN sebenarnya bertujuan untuk menciptakan kekuatan ekonomi yang lebih solid di sektor strategis. Namun, model _holding_ yang diterapkan di Semen Indonesia tampaknya lebih banyak menimbulkan kanibalisasi antar perusahaan di dalamnya.
Holding seharusnya memainkan peran sebagai pengarah strategi tanpa menghilangkan otonomi bisnis masing-masing perusahaan di dalamnya. Jika setiap perusahaan dalam grup hanya dijadikan sebagai alat produksi sementara distribusi dan pemasaran dipusatkan ke satu entitas dominan, maka risiko ketimpangan akan semakin besar. Dalam jangka panjang, perusahaan-perusahaan yang kalah dalam distribusi akan kehilangan daya saing dan akhirnya hanya menjadi beban bagi _holding_ itu sendiri.
Seiring dengan evaluasi kinerja BUMN yang terus dilakukan oleh pemerintah, muncul wacana untuk mengembalikan pemasaran dan distribusi kepada masing-masing pabrik semen di bawah _holding_ . Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, Semen Padang bisa kembali memiliki kendali atas pasarnya sendiri dan tidak lagi tergerus oleh dominasi saudaranya di dalam grup.
Langkah ini juga bisa menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan yang selama ini terjadi. Holding tetap dapat berperan dalam strategi besar seperti pengadaan bahan baku, efisiensi produksi, dan inovasi teknologi, tetapi tanpa membatasi ruang gerak bisnis masing-masing entitas di dalamnya. Dengan demikian, perusahaan seperti Semen Padang yang sudah dikenal dengan slogan; “ _kami sudah berbuat sebelum yang lain memikirkannya_ ” dapat kembali berkembang tanpa harus bersaing secara tidak sehat dengan perusahaan lain dalam grup yang seharusnya menjadi sekutunya, bukan kompetitornya.
*Kesimpulan*
Kasus Semen Padang menunjukkan bahwa tidak semua akuisisi dan pembentukan _holding_ membawa manfaat bagi semua pihak. Dalam konteks BUMN, kebijakan yang terlalu sentralistik justru bisa melemahkan pemain yang seharusnya diperkuat. Semen Padang, sebagai ikon industri semen di Indonesia, kini berada di titik kritis akibat strategi bisnis yang tidak berpihak pada pertumbuhan regional.
Jika pemerintah serius ingin menyelamatkan perusahaan-perusahaan semen yang bernaung di bawah Semen Indonesia, maka restrukturisasi kebijakan pemasaran dan distribusi perlu segera dilakukan. Otonomi yang lebih besar harus diberikan kepada masing-masing pabrik agar mereka bisa berkembang sesuai dengan keunggulan kompetitifnya. Dengan demikian, holding bisa tetap menjadi alat penguatan industri tanpa harus mematikan anggotanya.
Masa depan industri semen Indonesia tidak boleh hanya ditentukan oleh efisiensi biaya semata, tetapi juga oleh keberlanjutan dan keseimbangan antar pelaku usaha di dalamnya. Jika tidak, kisah Semen Padang bisa menjadi peringatan bahwa akuisisi yang salah arah bisa berujung pada kemunduran, bukan kemajuan. Dengan begitu, tuntutan _spin off_ yang pernah diteriakkan oleh masyarakat Sumatera Barat pada tahun 2000, bukanlah omon-omon, tetapi adalah sebuah tuntutan untuk mempertahankan kejayaan pabrik yang bermarkas di Bukit Indarung itu. (*/ _penulis adalah pemerhati dan salah seorang pendukung _spin off_ PT Semen Padang)_