SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA;Catatan Asro Kamal Rokan

by -

SJAFRUDDIN PRAWIRANEGARA;Catatan Asro Kamal Rokan

“… KITA membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Patah tumbuh hilang berganti….,” pidato radio Sjafruddin Prawiranegara, pada 23 Desember 1948, dari hutan tempat persembunyiaannya di Halaban, Payakumbuh, Sumatra Barat, menggema.

Sjafruddin melanjutkan, “… Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh ….”

Pidato heroik Sjafruddin Prawiranegara, pada 23 Desember 1948 itu disampaikannya setelah terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di perkebunan teh, Halaban, sekitar 15 km selatan Payakumbuh, Sumatra Barat.

Empat hari sebelumnya, 19 Desember 1948 pagi, militer Belanda melancarkan Agresi Militer II di Yogyakarta, Ibukota Indonesia saat itu. Sebelum ditangkap, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden memutuskan menunjuk Menteri Kemakmuran Mr Sjafruddin Prawiranegara — yang saat itu berada di Bukit Tinggi — mendirikan Pemerintah Darurat. Telegram dikirim ke Bukti Tinggi.

Pak Sjaf, yang saat itu berusia 37 tahun, belum menerima telegram dari Yogyakarta tentang penunjukkannya membentuk Pemerintah Darurat. Dari berita radio, Pak Sjaf hanya mengetahui bahwa Yogyakarta, ibu kota negara, telah jatuh ke tangan Sekutu. Sukarno, Hatta, dan Agus Salim juga ditangkap.

Mendengar Yogyakarta jatuh, Pak Sjafruddin bersama Gubernur Sumatera Mr Teuku Muhammad Hasan, dan tokoh tokoh pergerakan, mengadakan rapat rahasia. Kemudian, secara sembunyi mereka meninggalkan Bukit Tinggi menuju Halaban. Di sinilah, mereka berinisiatif membentuk Pemerintahan Darurat. Pemerintah Darurat pun terbentuk pada 19 Desember 1948. Bagi Pak Sjaf, pemerintah tidak boleh vakum.

Kabinet PDRI, yang dibentuk pada 22 Desember 1948, dipimpin Sjafruddin. Wakilnya, Teuku Mohammad Hassan merangkap Menteri Dalam Negeri/Menteri Agama, Sutan Mohammad Rasjid sebagai Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Lukman Hakim Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, Ir Mananti Sitompul Menteri Pekerjaan Umum.

PDRI juga membentuk wilayah pemerintahan militer di Aceh, Tapanuli, Sumatra Timur, Riau, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan. Mereka menggelorakan perlawanan.

Setelah kabinet disusun, sehari kemudian, 23 Desember, Sjafruddin menyampaikan pidato melalui radio, yang heroik tadi: bahwa pemerintah Indonesia tidak bubar meski Sukarno-Hatta ditangkap. Siaran pidato radio tersebut ditangkap di radio Singapura dan disadap radio Belanda di Riau. Pidato tersebut juga menyebar ke dunia internasional.

Belanda bereaksi. Mereka mengatakan pemerintah itu tidak sah dan menyebut PDRI sebagai Pemerintah Dalam Rimba Indonesia. Sjafruddin dan pimpinan PDRI, diburu, bergerilya di hutan-hutan, sambil terus menyerang kepentingan Belanda. Tokoh-tokoh PDRI kerap tidur di semak belukar di pinggiran sungai Batanghari, kekurangan makanan.

Perlawanan PDRI tidak saja menyulitkan Belanda di lapangan, tapi juga memengaruhi citra Belanda di internasional. Mereka dikecam. Kecaman internasional itu memaksa Belanda duduk dalam perundingan Roem-Royen, 1949. Sukarno, Hatta, dan tokoh-tokoh nasional yang ditangkap, dibebaskan.

Setelah perjanjian Roem-Royen, Sjafruddin kembali ke Jakarta atas permintaan pimpinan Masjumi, M Natsir. Pada 14 Juli 1949, Sjafruddin — lahir di Serang, Banten, 28 Febuari 1911 — menyerahkan mandat kepada Sukarno dan Wakil Presiden M Hatta.

PDRI dalam pimpinan tokoh-tokoh Masjumi saat itu, telah menyelamatkan Indonesia. Kini, tanyakan kepada genarasi muda, apakah mengetahui peran penting PDRI itu?

Kuding — nama kecil Sjafruddin, ayah Banten, ibu asal Minangkabau — salah seorang tokoh besar bangsa ini. Ia Wakil Perdana Menteri, juga Menteri Keuangan pertama RI, pada 1946. Ketika memimpin Javasche Bank, Kuding mengubah bank tersebut menjadi Bank Sentral Indonesia pada 1953, kini Bank Indonesia. Untuk menghormati jasa Sjafruddin sebagai pendiri Bank Indonesia, pada 17 Agustus 2005, diresmikan Menara Sjafruddin Prawiranegara di Bank Indonenesia, Jl MH Thamrin, Jakarta.

Berpuluh tahun, peristiwa bersejarah PDRI dan Sjafruddin ini seperti diletakkan di tumpukkan buku paling bawah. Tak dianggap penting, bahkan dilupakan.

Lebih ironis, pada masa Orde Baru, kehidupan keluarga Pak Sjaf — seperti juga keluarga Pak Natsir, Pak Mohammad Roem, dan tokoh-tokoh Masjumi lainnya — dipersulit. Beberapa kali Pak Syaf, yang masa tuanya bergerak di bidang dakwah, dilarang berceramah.

Pada Juni 1985, tokoh Masjumi ini diperiksa aparat karena isi khotbahnya pada Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta. “Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” kata Pak Sjaf.

Setelah setengah Abad, peran PDRI itu tersembunyi dalam tanah sejarah bangsa ini, pada Selasa (19/12), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keppres 28/2006, menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara untuk mengenang PDRI.

Setengah Abad, waktu yang lama untuk meletakkan kebenaran. Jika masih hidup, Pak Sjaf — meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun– mungkin tak berharap gelar pahlawan, Baginya, berjuang untuk bangsa dan negara, bukan untuk meraih gelar pahlawan dan kedudukan.

Namun sejarah haruslah diletakkan di tempatnya yang benar. Sejarah tak dapat disembunyikan, tidak dapat ditiadakan, karena kebenaran tidak pernah mati.

Rabu, 20 Desember 2006

Catatan: Pada 9 November 2011, Presiden SBY menetapkan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Pahlawan Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.