by -

Cuplikan Kisah Human Interest;Jalan Sepi Pasca Mempertahankan Mesjid Pondok Indah

Oleh Wina Armada Sikardi

Peristiwanya seperti dalam adegan film saja. Sebuah mobil pick up terbuka penuh orang bersarung dan berkopiah malam itu mendadak muncul di depan rumah saya. Kemudian diikuti belasa motor yang dikendarai dan membonceng para penumpang dengan busana serupa. Mereka berteriak-teriak memanggil nama saya.

Waktu itu saya tinggal di Jalan Alam
Elok Pondok Indah (PI), Jakarta Selatan. Saya bingung ada apa gerangan? Setelah saya keluar rumah dan berdialog dengan mereka, barulah saya faham duduk perkaranya:

Waktu itu Pondok Indah Mall (PIM) baru ada PIM 1. PIM 2 belum dibangun. Waktu itu PIM masih dimiliki dan dikelola oleh PT Meteopolitan Kencana
(MK). Tanah yang sekarang jadi
PIM 2, kala itu mau dibangun dan dijadikan hotel. Persoalannya: di belakang tanah itu ada sebuah mesjid.
Nah, mesjid ini mau dibongkar. Mau dipindah ke entah berantah. Kabarnya ke Pasar Minggu. Sudah beberapa hari para buruh didampingi aparat siap membongkar mesjid ini.

Inilah yang membuat para warga sekitar berang. Soalnya selain dipindahkan ke daerah yang tidak terkait dengan penduduk lokal, jika mesjid ini dibongkar, di Pondok Indah dan sekitarnya tidak ada mesjid lagi.
Sementara sudah ada tempat ibadah agama-agama lain. Rupanya ini soal sensitif. Masyarakat sekitar tersinggung. Mereka murka. Datanglah mereka malam itu ke saya minta keterlibatan saya untuk mengatasi soal ini.

Memang mesjid itu menjadi satu-satunya mesjid di wilayah Pondok Indah, saat itu. Oleh karena itu saya pun, kalau hari Jumat ada di rumah, pergi sholat di mesjid ini. Makkumlah jarak antara mesjid ini ke rumah saya cuma beberapa menit saja jalan kaki. Begitu pula kalau lebaran, ketika tinggal di Pondok Indah, biasanya saya sholat idhul fitri disini. Kotbahnya masih memakai bahasa Arab. Cepat pula. Tidak sampai 15 menit sudah bubar.

Tiga anak saya , sewaktu kekah (potong kambing), di mesjid ini. Waktu itu selain bentuk mesjid yang sederhana, juga dalam nya sederhana.

Saya lihat wajah-wajah yang datang malam itu dipenuhi kemarahan dan kekecewaan. Saya bukan pengurus mesjid itu. Saya juga bukan aktifisndisana. Saya hanya tetangga dekat yang menjadi jemaah dan sekali dua kali ikut berpartisipasi mengatasi persoalan mesjid yang muncul. Mungkin lantaran itulah mereka datang dan minta “arahan” dari saya.

Gawat juga nih, pikir saya. Ini benar-benar persoalan sensitif. Masa yang datang dalam keadaan amarah dapat saja bertindak anarki yang di luar dugaan. Misalnya, merusak properti atau membakar Pondok Indah. Maka saya memutuskan ikut turun tangan soal ini.
“Bapak-bapak, mohon tenang,” kata saya di depan rumah. “Jangan mengambil tindakan yang berbahaya. Saya akan cek dulu,” papar saya.

Lalu saya masuk ke rumah. Saya telepon Ciputra, big boss MK waktu itu, masih melalui telepon kabel. Saya tidak kenal langsung Ciputra, tapi sebagai wartawan saya punya nomer telepon rumahnya. Saya pernah ke rumahnya di Bukit Golf, Pondok Indah, bersama suatu rombongan melihat koleksi lukisan kara Hendra milik Ciputra. Saat itu Ciputra sendiri tidak ada di rumahnya.
Telepon saya rupanya diangkat Ciputra.
“Malam Pak Ci. Saya Wina Armada, warga Pondok Indah juga. Maaf saya malam-malan menelpon. Di depan rumah saya, sedang banyak orang mau demo ke rumah Pak Ci,” tambah saya.

Ciputra orang yang pinter dan korek.”Berapa nomer telepon Saudara?” tanyannya. Saya sebut nomer telepon rumah saya.”Sekarang telepon Saudara tutup dulu. Nanti segera saya telepon balik, “ tegasnya.
Oh, dia mau cek benar apa tidak, nomer telepon dan posisi saya. Tak lama berikut telepon dari dia memang berdering.
“Iya Pak Ci, ini saya Wina Armada,” langsung saya menyebut indentitas.
“Ya.”
“Begini Pak. Di depan rumah saya ada massa yang marah besar karena mesjid mau dibongkar atau dipindahkan.,” jelas saya. Tak ada reaksi dari Ciputra. “Nah saya khawatir Pak, karena ini soal sensitif, bisa saja mereka mengamuk dan tiba-tiba membakar property Pondok Indah.”

Ciputra memotong,”Saudara mengancam?”
Kaget juga saya mendapat tanggapan pertanyaaan itu.”Oh sama sekali saya tidak memgancam, Pak. Tapi sebaliknya saya justeru ingin memberi tahu, memberi _warning,_ ada kemungkinan masa menjadi kalap dan melakukan pembakaran. Nah kalau itu terjadi saya tak mau disalahkan karena saya sudah lebih dahulu memberitahu dan _warning_ adanya kemungkin ini.”

“Ya sudah nanti berhubungan saja dengan manager kami,” katanya. Seingat saya nama yang disebut Benny.
Besok pagi datanglah kami ke rumah orang yang disebut Ciputra.
Rupanya sang manager pagi-pagi hari itu sudah sengaja “menghilang” dari rumahnya.
Waktu itu masih zaman Orde Baru (Orba) segala kemungkinan dapat terjadi. Kan waktu itu sudah biasa ada relasi khusus antara pengusaha -penguasa. Saya bisa saja diculik, entah oleh siapa. Atau mungkin tiba-tiba ditangkap dan ditahan dengan tuduhan apa saja, tetapi yang waktu itu marak dan paling mudah dengan tuduhan “tidak bersih lingkunhan. Atek PKI.” Meski kita tidak
Terkait apapun dengan PKI, tapi stigma tuduhan itu luar biasa dampaknya. Atau bisa apa sajalah tuduhanya, bisa direkaya, yang penting tidak menjadi penghalang pembongkaran mesjid. Saya waktu itu cuma berserah kepada Allah saja.

Beruntung diam-diam banyak pejabat tinggi negara, baik sipil maupun ABRI (saat itu belum ada pemisahan antara polisi dan militer) mendukung saya. Entah darimana mereka dapat nomer telepon rumah saya, tapi jelan mereka memberikan suport, meski saya tidak tahu apakah kalau terjadi apa-apa dengan saya mereka benar-benar bakal membantu atau tidak.

Dan dukungan juga datang dari kawan-kawan saya yang non muslim. Kami sepakat ini bukan persoalan diskriminatif, tapi soal kepekaan dan kearifan. Sobat non muslim itu menjelaskan, tentu mereka tidak tenang beribadah akalau di lingkungannya saudara-saudar muslim yang masyoritas sedang gelisah dan marah. Ini malah bisa membahayakan mereka sendiri. Jadi sebagian dari mereka yang non muslim pun mendukung saya.

Secara singkat, dari peristiwa terjadilah kesepakatan. Mesjid tidak akan dibongkar selama belum ada penggantinya. Kedua akan dibangun mesjid di wilayah Pondok Indah. Setelah itu memang dibangunlah Mesjid Raya Pondok Indah. Sejak awal kami memang setuju tidak melibatkan diri dalam pembangunan mesjid itu untuk menghilangkan kesan kami punya ambisi menjadi pengurus mesjid dan sebagainya.

Dalam perkembangannya kemudian, Mesjid Raya Pondok Indah terwujud, sementara mesjid ini sampai sekarang tidak jadi dibongkar. Setelah PIM 2 dibangun, mesjid ini terletak tepat di belakang PIM 2. Sangat strategis. Selain itu, lantaran khobahnya yang cepat, banyak karyawan dan pengunjung PIM yang memilih sholat di mesjid ini.

Kini saya sudah lama pindah dari Pondok Indah ke Bintaro. Saya mendengar mereka yang mengaku ahli waris mesjid ini sekarang yangbmengelola mesjid. Sebagian dari lahan mesjid dijadikan tempat penyewaan lahan parkir motor. Dibanding parkir motor di tempat resmi yang harus bayar jam-jamnya, di lahan ini orang bayar berdasarkan kedatangan. Kabarnya penghasilan dari sewa parkir ini cukup besar.

Beberapa kali saya sengaja memilih sholat di mesjid ini, baik waktu jumatan saya ada di PIM maupun hari lain non Jumat. Sebelum dan sesudah sholat saya melihat-lihat dalam mesjid. Ternyata tak ada lagi para pengurus atau pengelola mesjid yang mengenal saya. Mereka sudah generasi baru yang mungkin sama sekali tidak terlibat dalam upaya mempertahankan mesjid. Para ustad yang dulu datang ke rumah saya, kabarnya sudah wafat. Terakhir Uztad Ruslan salah satu pengurus disana meninggal dunia. Anaknya yang mengabarkan kepada saya.

“Kenapa Pak kok lihat-lihat terus mesjidnya?” tanya seseorang dengan nada curiga kepada saya waktu saya kebetulan sholat disana. Selesai sholat saya memang melihat-lihat mesjid. Mungkin dia pengurus mesjid atau pengelola lahan parkir. Dia tak mengenal saya.

Baginya, aneh ada orang lain yang memperhatikan keadaan mesjidnya. Jangan-jangan ini investor yang mau mengambil alih lahan mesjid. Atau mungkin juga dari pihak anggota kelurga lain yang mau merebut lahan sewa parkir.
Tadinya saya mau menjelaskan, saya tarmasuk salah satu yang turut mempertahankan dan memperjuangkan mesjid ini untuk teta berdiri, tapi segera saya urungkan. Selain takut dianggap “riya” Saya putuskan kapan-kapan lagi saya akan datang khusu memperkenalkan diri.

“Oh tidak apa-apa, cuma mau lihat-lihat saja gimana mesjid di belakang PIM yang katanya udah lama ada,” jawab saya. Orang itu menjauh dari saya, tetapi masih terus mengamati saya.

Dalam “memperjuangkan” agama secara ikhlas, kita tidak boleh berharap orang bakal mengetahui kita, apalagi mengingat “jasa” kita. Sejak awal kita harus mempersiapkan mental, suatu saat orang tak lagi mengenal kita. Itulah yang saya alami. Setelah membantu mempertahan mesjid ini, generasi para pengurus dan pengelola berubah. Berganti. Kini mereka tak lagi mengenal saya. Itu konsukuensi kalau kita beribadah membantu tanpa mengembar-gemborkan usaha kita. Sebuah jalan yang suatu saat akan sepi karena kita dipandang bukan siapa-siapa lagi. Hanya saja saya percaya Tuhan tetap telah mencatatnya.
Tabik.***

Catatan:
Ucapan Terima Kasih dan Maaf
Tulisan ini mengakhiri rangkaian 28 seri tulisan untuk menyambut bulan Ramadhan tahun 2022. Kendati tidak ada satu pun ayat atau hadis yang saya kutip, namun saya mengharap dari tulisan-tulisan ini tetap dapat dipetik hikmah dan pembelajra relegi baik untuk umat islam maupun secara universal.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dapat merampungkan tulisan seri tulisan ini. Setiap hari ada tanggapan dari berbagai pihak. Saya juga sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan tanggapan, baik dengan ikut menceritakan adanya pengalaman sendiri yang serupa dengan pengalaman yang saya alami maupun dengan masukan-masukan yang sangat berguna, terutama jika ada lagi seri sejenis atau dijadikan buku.
Dalam kesempatan ini saya juga mohon maaf kepada semua pihak, baik yang namanya disebut jelas atau sama sekali tidak disebut, tetapi mungkin merasa tersinggung, tercemarkan atau terhina. Tidak ada setitik pun niatan untuk sengaja melukai siapapun. Jika ada nama atau illustrasi yang diceritakan, hal itu semata-mata untuk memberikan penekanan bahwa seluruh kisah yang disajikan dalam tulisan ini benar _base on true strory_ alias kisah nyata. Kendati begitu tetap merupakan kewajiban saya untuk mohon terhadap semua kekurangan yang ada, termasuk jika mungkin yang langsung atau tidak langsung tersinggung, atau marah.
Akhir kata berkenankanlah saya mengucapkan minal aidin wal fa idin.
Mohoh maaf lahir dan batin. Selamat idul fitri tahun 2022.
Jabat erat.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.