(Sebuah Catatan Bagi Periode Dirut Simon A. Mantiri)
Oleh: Defiyan Cori,Ekonom Konstitusi
Tidak banyak kinerja positif yang dapat dicatat selama enam (6) tahun kepemimpinan Nicke Widyawati sebagai Direktur Utama (Dirut) salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis, ternama dan terbesar disektor energi Indonesia, yaitu Pertamina. Padahal, sebelum menjabat secara definitif, Nicke Widyawati telah ditunjuk sebagai Plt Dirut Pertamina pada April 2018. Lalu empat (4) bulan berikut, tepatnya pada 29 Agustus 2018 resmi ditetapkan menjadi Dirut Pertamina secara permanen melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menggantikan Elia Massa Manik
Dengan berbagai jabatan eksekutif yang telah didudukinya sejak tahun 2009, seperti di PT. Rekayasa Industri (Rekind) dan dipercaya sebagai Direktur Pengadaan Strategis 1 PT PLN (Persero), Nicke Widyawati dianggap mampu menyelesaikan kendala pembangunan infrastruktur (upstream/hulu) dan permasalahan tata niaga migas dan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina. Bahkan, Dirut Pertamina ini dengan optimistis menyatakan siap mengunci nilai (unlock value) dan mengakselerasi bisnis baru sesuai keinginan pemerintah untuk mencapai sasaran nilai pasar (market value/cap) sejumlah US$100 miliar atau sekira Rp1.550 triliun. Faktanya, apakah kinerja manajemennya tercapai!? Tulisan ini agak panjang untuk mendeskripsikannya, semoga pembaca betah dan sabar dalam membaca.
*Infrastruktur Kilang dan Penyimpanan (Storage)*
Persiapan Nicke Widyawati sampai ke pucuk pimpinan Pertamina juga didasari oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja profesionalnya yang mumpuni. Apalagi, sosok wanita ini baru saja dinobatkan sebagai salah seorang Most Powerful Women dalam Fortune’s Most Powerful Women 2024 tentulah bukan prestasi yang biasa. Justru pertimbangan inilah, yang membuatnya diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dan tantangan korporasi. Diantaranya, adalah terkait dengan pengelolaan bisnis inti (core business) perusahaan minyak dan gas bumi (migas) dari hulu ke hilir industrinya sebagai mandat konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945).
Untuk itulah, proyek strategis yang krusial dan penting bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, yaitu pembangunan infrastruktur hulu migas menjadi prioritas utama. Selain upaya peningkatan produksi migas (lifting migas), maka pembangunan kilang atau pabrik pengolahan BBM dan penyimpanannya (storage) adalah ditujukan untuk mengurangi ketergantungan atas impor BBM yang menguras devisa negara. Inisiasinya dilakukan melalui peningkatan kapasitas kilang atau proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) yang dimiliki oleh Pertamina di Balikpapan, Balongan dan Cilacap yang terbesar. Salah satu proyek RDMP terpenting adalah kilang Balikpapan, penyelesaian pembangunannya-pun cukup terlambat dari perencanaan awal Dirut Pertamina yang optimis merampungkan ditahun 2024.
Proyek yang telah dimulai sejak tahun 2019 itu, menurut Koesoemo Wardoyo, Manager Turn Around PT Kilang Pertamina International (KPI) Unit Balikpapan (Kilang Balikpapan) pada bulan Februari 2024 kemajuannya baru mencapai 87 persen lebih.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo juga menyatakan, bahwa proyek Kilang Balikpapan sejauh ini mencatatkan perkembangan yang positif. Kilang ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas produksinya dari 260.000 barel per hari (bph) menjadi 360.000 bph dengan menghasilkan produk BBM dari jenis Euro II ke Euro V. Faktanya, waktu penyelesaian pembangunan RDMP Balikpapan kemudian diundurkan berdasar konfirmasi dari Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary) PT. KPI, sub holding Refining & Petrochemical Pertamina (SH RefPetro), Hermansyah Y. Nasroen.
Jika mengacu pada pernyataan yang disampaikan oleh Dirut Pertamina, Nicke Widyawati dibulan Januari 2022, bahwa kemajuan pembangunan Balikpapan kilang telah mencapai 46,92 persen pada tahun 2021. Artinya, selama dua (2) tahun, rata-rata kemajuan pembangunan kilang Balikpapan hanya 23,46 persen saja atau kurang dari 25 persen. Walaupun, proyek dengan nilai Rp108 triliun juga diklaim memiliki kandungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar 30,06 persen atau senilai Rp8,4 triliun, tapi jika terlambat jelas lebih banyak merugikan keuangan negara. Apakah kinerja manajemen yang lamban seperti ini pantas mendapatkan penghargaan dunia?
Lalu, pertanyaannya bagaimana dengan pembangunan tempat penyimpanan BBM (depa) disaat momentum harga minyak mentah keekonomian dunia turun saat pandemi Covid19 tahun 2020-2022? Saat itu, Pertamina telah membangun penambahan 21 lokasi penyimpanan di terminal bahan bakar minyak (TBBM), 8 Lokasi storage LPG, 7 lokasi storage Avtur dan 2 Kapal General Purpose.
*Utang dan Penjualan BBM*
Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero) sebelumnya, yaitu Basuki Tjahja Purnama atau Ahok pernah mengungkapkan bahwa Pertamina selama ini sering berutang. Padahal, Ahok menyatakan bahwa utang tersebut pada tahun 2019 telah mencapai US$16 miliar atau sekitar Rp236 triliun (US$1= Rp 14.800). Menurut Ahok, utang yang diperoleh Pertamina sangat sering dipergunakan untuk melakukan akuisisi ladang dan blok minyak di luar negeri sementara di dalam negeri masih ada potensi eksplorasi minyak dan gas yang besar. Bahkan, Pertamina merupakan salah satu BUMN penyumbang utang terbesar berdasar laporan keuangan konsolidasi tahun 2022 (diaudit) yang dipublikasikan.
Utangnya, terdiri dari utang, jangka pendek sejumlah US$21,2 miliar atau setara Rp316,68 triliun dan utang jangka panjang sejumlah US$29,39 miliar atau setara Rp439 triliun. Dengan demikian, total utang Pertamina periode 2022 telah mencapai US$50,59 miliar atau setara Rp755,69 triliun. Angka itu mengalami lonjakan sejumlah US$5,87 miliar atau setara Rp87,7 triliun dari posisi utang perusahaan per 2021 yang sejumlah US$44,72 miliar atau setara Rp667,99 triliun. Dibandingkan saat awal menjabat Dirut Pertamina, kenaikan utang yang dilakukan oleh Nicke Widyawati mencapai sejumlah US$34,59 atau senilai Rp519,69 triliun, adalah catatan prestasi atau rekor utang yang sangat fantastis!
Selanjutnya, bagaimana halnya dengan kondisi bisnis hilir (downstream) Pertamina melalui Pertamina Patra Niaga/PPN atau sub holding Commercial & Trading (C&T)? Pada tahun 2019, Sekper (Corsec) Pertamina Brahmantya Satyamurti Poerwad melalui VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyatakan, bahwa volume penjualan bahan bakar mineral (BBM) periode 2019 meningkat yaitu mencapai 51,31 juta kiloliter (KL) dibanding tahun 2018 hanya sebesar 49,62 juta KL. Penjualan terbesar berasal dari volume elpiji ekuivalen 13,75 juta KL dan BBM untuk Industri 13,96 juta KL. Dari penjualan tersebut, secara total konsolidasi volumenya mencapai ekuivalen 87,98 Juta KL.
Kemudian, pada tahun 2022 penjualan BBM Pertamina tercatat sejumlah Rp84,8 triliun dengan beban pokok penjualan Pertamina (COGS) mencapai Rp60,9 triliun, meningkat 48% dari tahun 2021. Dari penjualan BBM ini, Pertamina berhasil membukukan laba bersih sebesar US$3,8 miliar atau Rp56,6 triliun, meningkat 86% dari tahun 2021. Artinya, kenaikan konsumsi BBM dan elpiji memberikan kontribusi positif atas capaian labanya, tapi juga sekaligus meningkatkan beban pokok atau HPP separuhnya. Ada dua beban terbesar yang meningkat, yaitu impor BBM jenis premium dan solar mencapai Rp15 triliun padahal tahun 2021 hanya sejumlah Rp6,7 triliun. Impor solar justru lebih besar lagi pada periode tahun 2022 yaitu mencapai US$19,76 miliar ekuivalen Rp299,41 triliun atau 72.411 barel per hari (bph) serta meningkat 2.187%.
Kinerja positif ini tentu memampukan Pertamina bersinergi antar sub holding untuk melakukan investasi pembangunan hulunya dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor migas dan BBM. Yang lebih parah, adalah kinerja impor migas dan BBM Pertamina ini juga sama meningkatnya dengan (linier) dengan peningkatan utang korporasi. Yang berarti, pengelolaan BUMN strategis ini juga *lebih besar pasak daripada tiang*. Lalu, layakkah kinerja jajaran Dirut sub holding C&T ini memperoleh penghargaan apalagi promosi jabatan?
*Nilai Pasar US$100 Miliar Kesasar*
Secara umum, BUMN mencatatkan total liabilitas atau kewajiban (termasuk utang) sejumlah Rp6.957,4 triliun atau US448,9 miliar (US$1=Rp15.500). Angka ini dibukukan dalam laporan keuangan gabungan dari 65 unit BUMN tahun 2023. Dalam dokumen Kementerian BUMN itu diinformasikan, bahwa utang perusahaan negara tersebut terbagi atas liabilitas jangka pendek senilai Rp1.192,2 triliun, dan liabilitas spesifik lembaga keuangan sejumlah Rp4.042,1 triliun, serta utang jangka panjang sejumlah Rp1.722,9 triliun
Sedangkan modal sendiri (ekuitas) BUMN di 2023 secara konsolidasi mencapai Rp3.444,07 triliun dibanding tahun sebelumnya yang senilai Rp3.100,67 triliun ada kenaikan sejumlah Rp343,40 triliun atau meningkat sebesar 11,07%. Namun, hal itu dicapai hanya dengan peningkatan harta kekayaan (asset), perseroan sejumlah Rp10.401,5 triliun atau meningkat cuma 6,26 persen dibandingkan 2022 yang berada di angka Rp9.788,64. Sedangkan, pendapatan usaha konsolidasi 2023 menyentuh Rp2.932,6 triliun, turun dari tahun lalu, yakni Rp2.918,9 triliun.
Dengan kondisi keuangan BUMN seperti “menggerek mobil rusak” lalu Menteri BUMN Erick Tohir menetapkan sasaran (target) nilai pasar Pertamina tahun 2024 senilai US$100 miliar atau sekira Rp1.550 triliun. Sasaran inilah yang tidak bisa dicapai oleh Dirut Pertamina Nicke Widyawati yang hanya menumpuk utang sementara pembangunan kilang tidak terselesaikan untuk mengatasi kelebihan kebutuhan konsumsi atas produkai di dalam negeri, mengurangi impor migas dan BBM yang menguras devisa serta mendukung transisi energi melalui energi baru dan terbaharukan (EBET). Justru nilai pasar Pertamina yang hanya sejumlah Rp1.390 triliun atau US$91,1 miliar hanya akan kesasar ketangan perusahaan asing jika banyak sub holding yang dipecahbagikan sahamnya (stock split) melalui penawaran perdana (Initial Public Offering/IPO) ke pasar bursa.
Pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi Dirut Pertamina baru, Simon Aloysius Mantiri yang baru mengambil estafet kepemimpinan pada 4 Nopember 2024 dari mantan Dirut wanita berpengaruh di dunia tersebut. Oleh karena itu, kaji ulang perencanaan strategis sangat dibutuhkan dalam menatakelola BUMN sektor migas yang dicintai rakyat Indonesia. Ada dua (2) kebijakan yang dapat ditempuh, yaitu secara konstitusi melalui penguatan korporasi dengan merevisi UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas serta organisatoris melakukan integrasi struktur organisasi dan bisnis intinya atau pembatalan kebijakan Holding-Sub holding. Hal ini tentu memerlukan kerjasama dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders), jangan abaikan masukan dari pihak manapun. Semoga berhasil dan lancar mengemban amanah Pak Dirut Simon A. Mantiri, apalagi telah dibantu oleh jajaran komisaris mantan petinggi Kepolisian Republik Indonesia!