Memaknai “Kesenjangan Sosial” Kelompok Manusia Tertinggal dalam Lukisan Melodia

by -

Memaknai “Kesenjangan Sosial” Kelompok Manusia Tertinggal dalam Lukisan Melodia

Catatan Kecil : Muharyadi

Beragam dinamika dan peristiwa keseharian dialami seseorang atau banyak orang bahkan masyarakat secara umum dalam mengarungi samudera kehidupan diiringi segala suka dan duka, sepertinya sudah menjadi pemandangan umum di depan kita. Ada yang kaya, setengah kaya, miskin, setengah miskin bahkan sangat miskin.

Terhadap berbagai dinamika dan peristiwa sosial itu ditengah tengah kekayaan alam dan siesinya di tanah leluhur ini merupakan bagi dari kehidupan sehari-hari bagi kita semua. Namun seperti apa sesungguhnya orang kaya, setengah kaya, miskin bahkan sangat miskin itu menjalani kehidupannya sehari-hari? Tentulah terpulang kepada sikap, mental, inovasi dan kreativitas masing-masing kita untuk menghadapi dan menjalaninya.

Lalu bagaimana pula kita memperlakukan mereka dalam tatanan sosial masyarakat yang majemuk ini dilandasi nilai persatuan dan kesatuan serta rasa keadilan sosial yang kuat. Adakah rasa persatuan dan keadilan sosial tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan yang ada. Itulah masalahnya yang sulit dicarikan solusinya sejak lama, bahkan hingga kini.

Dibalik semua itu rupanya kondisi sosial dengan kondisi realitas yang ada merupakan hal menarik pula untuk dijadikan “rekaman peristiwa” tetapi bukan sebagai bukti sejarah secara otentik dalam ranah kebudayaan melalui penjelajahan kreativitas sebagai bentuk ungkapan rasa empati terutama terhadap orang-orang yang tak beruntung.

Persoalan ini pulalah yang merangsang pikiran dan perasaan pelukis Melodia dari banyak pelaku seni yang ada di negeri ini dengan segenap kemampuannya untuk mengangkatnya ke dalam karya lukis guna menyuarakan persoalan sosial, yang secara umum banyak bertutur tentang kesenjangan sosial.

Pelukis Melodia asal Sumani Solok, Sumbar kelahiran Jakarta, 8 Februari 1967 dan kini bermukim di Yogyakarta sejak lama cukup kuat menyuarakan persoalan-persoalan kesenjangan sosial masyarakat dalam bahasa visual melalui hasil penjelajahan kreativitasnya kepermukaan kanvas.

Karya-karya Melodia terlihat tidak menutup mata dengan  apa yang terjadi bahkan dilihat di hadapannya. Dengan kata lain merupakan refresentasi dari masalah keseharian dari masyarakat yang tak beruntung dengan keadaan lingkungan sehari-hari yang di tuturkan melalui ungkapan realis-simbolik. Yang hadir kemudian, obyek-obyek manusia dari beragam kelas dengan kondisi aslinya.

Salah satu karyanya yang saya amati lebih 12 tahun silam berjudul :”Undangan yang Tiada Henti dari Tanah Impian”/cat minyak/150x190cm,2008 adalah sebuah contoh yang bertutur tentang Jakarta sebagai tempat memikat yang mendambakan perubahan nasib dengan seperangkat nilai-nilai perjuangan di dalamnya. Karya ini merupakan Finalis Jakarta Art Awards 2008 “Warna-Warni Jakarta” di Galeri Pasar Seni Ancol Jakarta.

Dalam karya ini Pembangunan tidak merata menjadikan ibukota sebagai pusat ekonomi negara dimana terlalu banyak uang beredar,  sementara kebijakan pemerintah sejak lama membuat pembangunan terlalu Jakarta sentris. Undangan mencapai kemakmuran tiada pernah henti, yang berhasil dan yang gagal hampir sama banyaknya, meski batas antara mimpi dan realitas sangatlah tipis, kedatangan mereka terus mengalir karena Jakarta adalah obsesi untuk ditaklukan seperti tersirat dalam karya Melodia yang kini bermukim di Yogyakarta itu.

Obyek-obyek becak maupun sepeda yang dilihat dari pengalaman keseharian Melodia sebagaimana yang pernah diutarakannya menyebutkan, bahwa dalam bersepeda ada imajinasi mengenai kecepatan, kebebasan, seperti imajinasi berada di atas becak, duduk mengangkat kaki melihat ke kanan dan ke kiri.

Pada saat yang sama, seiring perkembangan zaman, sepeda dan becak adalah simbol mengenai proses marginalisasi masyarakat, tentang sesuatu yang dalam proses lenyap. Becak bukan semata-mata alat produksi yang hubungannya hanya dengan uang. Kalau Anda cukup mengenal Jogja, becak adalah kehidupan itu sendiri. Tukang becak datang dari kabupaten-kabupaten di pinggiran kota. Mereka sehari-hari hidup dan tidur di becaknya. Malam, meringkuk di becak, mereka mendengarkan siaran wayang kulit melalui siaran radio di atas becak. Kenyataan hidup, fantasi, imajinasi, semua ada di atas becak, ujar Melodia.

Yogyakarta— seperti disebutkan Melodia fdalam pengantar pameran tunggalnya belum lama berselang — merupakan kota yang banyak membentuk dirinya dalam berkarya. Dari Yogyakarta ini Melodia menemukan sudut pandang sebagaimana Yogyakarta memandang perubahan. Dari Yogyakarta memandang Jakarta, dari Yogyakarta memandang Indonesia, saya melihat arus konsumtivisme yang terus meningkat. In God (Money) We Trust, demikian saya berusaha melukiskan Gedung DPR RI di Jakarta. Ia ibarat dollar dan rupiah, kata Melodia.

Kedua mata uang ini pernah menjadi issue ramai di DPR dalam kasus korupsi, dengan sebutan apel impor untuk  dollar Amerika dan apel lokal untuk rupiah. Tiga lukisan saya munculkan sebagai latar depan berupa becak, sepeda, dan sepeda motor butut. Ini sekadar sebagai pengingat, jangankan dollar, lembaran Rp 100.000 seperti saya lukiskan di situ atau pada karya-karya saya yang lain dalam periode ini, tak akan ada kembaliannya kalau anda gunakan untuk membayar jasa pengayuh becak di Yogyakarta. Wah, mboten wonten kondur ipun (tidak ada kembaliannya), begitu kurang lebih ucapan si tukang becak yang bakal anda dengar, ujar Melodia

Beginilah Indonesia dalam hal ini Jakarta sebagai pusat dipandang dari Yogyakarta. Kami— dan banyak lagi kelompok yang tertinggal dan terpinggirkan—hanya menjadi penonton derap modernisasi dan kemajuan. Uang kembalian pun kami tak punya. Mata uang yang disodorkan oleh priyayi Jakarta terlampau besar.

Sementara di Yogya sendiri, meski tak sederas Jakarta, kami menyaksikan perubahan. Kompleks-kompleks perumahan muncul. Perlahan-lahan mereka mengakuisisi sawah-sawah. Dari pinggir sawah di dekat saluran irigasi, kami menyandarkan sepeda lawas kami, melihat di kejauhan tembok kompleks perumahan. Kompleks akan main ramai, meluas, dan sawah bakal tinggal kenangan ptimisme dan harapan, itulah yang saya percaya membuat kehidupan terus berjalan. Makanya saya melukis bocah-bocah mengibarkan bendera merah putih, dengan lagu “Indonesia Raya”. Di sana, di tanah air tercinta, dengan orang-orang terpinggirkan memelihara mimpi dan harapan. Bersama napas kemiskinan, negeri ini terus mengalir. Saya ingin ikut mencatatnya. Kalau tukang becak mencatat dan menjadikannya kebajikan hidup hasil dari pergulatan sehari-hari mencari nafkah di jalanan, saya mencatatkannya lewat kanvas, ujar Melodia menceritakan pengalaman empirisnya berkarya di kediamannya Mejing Lor Rt 04/Rw 01 Ambarketawang Gamping Sleman, Yogyakarta.

Dari beberapa catatan yang dapat saya baca dan saya trafsirkan perihal karya-karya pelukis yang telah empat kali berpameran tunggal (1992,1993, 2001 dan 2018 ini). Ia di lukisan karya-karyanya tidak menutup mata untuk merekam peristiwa keseharian dialami oleh orang kebanyakam terutama tukang becak atau orang tidak mampu yang direfresentasuikan kepermukaan secara obyektif dengan detail karya menyerupai aslinya secara natural  dengan teknik yang luar biasa. Itulah melodia, salah satu pelukis penting di jagad raya tanah air saat ini. (***)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.