Edisi berkurung dirumah (2)
Oleh Tan Ambo
1.Dalam suasana berkurung dirumah ini, pikiran menerawang ikin kama-i. Terkana jo kejadian-kejadian nan lama. Termasuk nan lah puluhan tahun lalu, seperti sangkat saya tinggal dulu di Siteba Padang.
2.Tanggal 9 bulan 9 tahun 19 79 saya pindah rumah ke Siteba. Berjarak satu rumah disuap rumah saya rumahnya Pak Tatang. Beliau berasal dari Jawa Barat. Urang Sunda, urangnya baik, ramah dan penyapa. Pak Tatang bekerja di GIA/Garuda, kantornya di Tabing.
3.Suatu malam saya diundang Pak Tatang kerumahnya. Acara syukuran atas kepindahannya pula ke Siteba. Dalam acara ramah tamah, Pak Tatang mangecek ke saya:”Pak Ambo, bahasa Minang itu ternyata mudah, cukup mengganti bunyi kata akhirnya saja…, seperti a diganti o, bunyi at diganti ek” “kalau begitu, coba ….” kecek saya. “Pak Tatang kerja dimana ? “di GIO… Jawabnya. “GIO ? “ya Garudo…” tukasnya. “ke kantor naik apa pak? “naik hondo” (maksudnya naik honda). “wah kacau Pak Tatang ini,” gumam saya dalam hati. Lalu saya tanya lagi. “kalau haus bapak minum apa ? ” “Es alpokek atau es tomek… (maksudnya es pokat jo es tomat)
Mendengar jawaban pak Tatang nan hadir dirumah itu bi terbasut gelaknya. Pak Tataaaang….pak Tatang.
4.Memang dalam basa Minang umumnya kata berakhiran bunyi a menjadi o. Misalnya “tiga” jadi tigo, “lama”jadi lamo, “sama” menjadi samo dsb. Tapi tidak semua bunyi a, berubah berbunyi o, seperti dalam hal nama dan merk. GIA bahasa Minangnya tetap GIA jadi bukan jadi GIO. Dan honda tetap honda bukan hondo. Takah tu pula bunyi kata akhiran at tidak semuanya menjadi ek. Kalau “lambat” memang menjadi “lambek”, “sumbat” jadi “sumbek”, “jimat”,”kuat” menjadi “jimek”, kuek dllnya. Tapi untuk nama buah-buahan seperti “alpokat” jo “tomat”, tetap namanya, tidak berubah menjadi “alpokek” jo “tomek” Nampaknya Pak Tatang harus banyak belajar lagi. Tidak cukup dengan mendengar saja.
