Prof. Dr. Busyra Azheri :Kepala Daerah Tidak Bisa Diberhentikan Menteri Dalam Negeri

by -

Prof. Dr. Busyra Azheri :Kepala Daerah Tidak Bisa Diberhentikan Menteri Dalam Negeri

Pasca diperiksanya Anis Baswedan oleh Polda Metra Jaya terkait kerumunan masa yang terjadi di sejumlah tempat beberapa waktu terakhir ini, dimana Mendagri Tito Karnavian menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Sebagai “andersat” Instruksi tersebut adalah kepala daerah di seluruh Indonesia. Sebagai titik berpijak dari Mendagri adalah ketentuan Pasal 67 b dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Bila dilihat secara hirarki peraturan perundang-undangan sudah dapat dipastikan Instruksi Mendagri tidak dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan kepala daerah yang tidak melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid-19.

Perlu di pahami bahwa proses pelaksanaan pemberhentian kepala daerah tetap harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan prosesnya tetap harus dilakukan melalui DPRD melalui proses pemakzulan atau impeachment.

Seharusnya Mendagri memahami, upaya untuk menegakkan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19 telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti PP No 21 Tahun 2020 tentang PSBB yang kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan yang lebih rendah oleh kementerian terkait lainnya.

Karena landasan hukum Pemerintah dalam menerbitkan peraturan terkait Protokol Kesehatan mengacu pada UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Sebagai rujukan pelaksanaannya di daerah mengacu kepada UU No 23 Tahun 2014.
Pasal 67 huruf b UU No. 23 tahun 2014 menegaskan bahwa Kepada Daerah, baik Gubernur, Bupati atau Walikota berkewajiban untuk melaksanakan semua peraturan perundang-undangan, termasuk semua peraturan perundang-undangan tentang Penegakan Protokol Kesehatan.

Sedangkan terkait sanksi diatur pada Pasal 78 c, dimana Kepala Daerah dapat diberhentikan dengan alasan antara lain “tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf b” yakni tidak mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku, dalam hal ini, yang dimaksud Mendagri, adalah peraturan perundang-undangan terkait Pelaksanaan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19.

Sehubungan terbitnya Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 timbul pertanyaan , “Apakah Instruksi Mendagri dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan Kepala Daerah yang tidak melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid-19?

Jawabannya tentu saja tidak, karena sifat dari instruksi adalah “perintah tertulis” dari atasan kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Meskipun dalam Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu ada ancaman kepada Kepala Daerah yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penegakan Protokol Kesehatan, hal itu bisa saja terjadi. Namun proses pelaksanaan pemberhentian Kepala Daerah itu tetap harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Karena UU Pemerintahan Daerah menyerahkan pemilihan kepala daerah secara langsung kepada rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU dan KPU di daerah.

Berdasarkan kewenangannya KPU adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan pasangan mana sebagai pemenang dalam Pilkada. Walau kadangkala KPU harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap apabila penetapan pemenang yang sebelumnya telah dilakukan dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, proses pemberhentian Kepala Daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD.

Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment).(Penulis ; Dekan FHUK Unand)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.