Sepenggal Kisah Nasrul Abit: Anak Nelayan dari Kampung Pelosok yang Sukses Pimpin Negeri

by -
Nasrul Abit saat memasangkan masker kepada sejumlah bocah di Sumbar.
Nasrul Abit saat memasangkan masker kepada sejumlah bocah di Sumbar. | Foto: Semangatnews.com

SEMANGATNEWS.COM – Siapa yang tak kenal dengan Nasrul Abit di Sumatra Barat (Sumbar) ini. Dialah tokoh yang sukses memimpin negeri.

Nasrul Abit adalah wakil gubernur Sumbar yang kini sedang cuti kampanye. Sebelumnya, ia diberi amanat oleh rakyat sebagai Bupati Pesisir Selatan.

Nasrul Abit menjabat sebagai Bupati Pesisir Selatan dua periode 2005-2015, dan Wakil Bupati Pesisir Selatan periode 2000-2005.

Di masa kepemimpinannya, wisata Pesisir Selatan maju. Ekonomi masyarakat bergerak.

Baca juga: Nasrul Abit Bakal Sikat Mafia Pupuk, Pastikan Tidak Keluar Daerah

Begitu pula ketika ia menjabat sebagai wakil gubernur Sumbar. Bersama Gubernur Irwan Prayitno dan pihak terkait, ia sukses melepaskan Pasaman Barat dan Solok Selatan dari daerah tertinggal.

Di sisi lain, Nasrul Abit juga dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Santun berbicara. Pandai menghormati orang.

Kalau soal mental, jangan ditanya lagi. Terlebih ketika ada rakyatnya tertindas. Pantang bagi sosok Nasrul Abit berdiam diri.

Misalnya ketika tragedi Wamena. Ia datang dengan gagah berani ke pulau paling timur Indonesia demi menyelamatkan perantau Minang yang sedang butuh pertolongan di sana.

Baca juga: Nasrul Abit Siap Kucurkan 87 Miliar untuk Rajawali Pendidikan di Sumbar

Lahir dari Keluarga Nelayan Sederhana

Meski kini ia dikenal sukses memimpin negeri, ternyata dulunya Nasrul Abit adalah orang biasa juga.

Nasrul Abit bernama kecil Asrul itu, lahir dari keluarga nelayan dan petani sederhana di kampung pelosok Sumbar.

Labuhan Tanjak nama kampung Nasrul Abit. Kampung ini berada di Air Haji, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar.

Secara geografis, letak desa ini berada tidak jauh dengan Batang Air Haji, serta laut.

Sebagaimana desa-desa di Indonesia, masyarakat desa Labuhan Tanjak memiliki penduduk yang sangat bersahaja dan penuh keramah-tamahan.

Baca juga: Nasrul Abit Akan Perjuangkan Nasib ASN dan Honorer di Sumbar

Mereka adalah para pemeluk agama islam yang taat, dan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan, bertani, ataupun berdagang.

Pada 24 Desember 1954, tepatnya pada hari Jumat sore menjadi hari yang mendebarkan sekaligus menggembirakan bagi sebuah keluarga pasangan Abit dan Syamsinar.

Pasalnya, keluarga nelayan dan petani yang sederhana ini sedang menantikan kelahiran anaknya yang kedua.

Semua proses persalinan yang dilaksanakan oleh dukun beranak, bernama Sya’siah berjalan dengan lancar, dan bayi yang sedang dinanti-nantikan tersebut lahir dengan selamat.

Sebagai ungkapan rasa kegembiraan, oleh orang tuanya, bayi laki-laki berkulit putih yang montok dan sehat itu kemudian diberi nama Asrul.

Zaman dulu dalam menentukan nama anak syarat makna, maka nama Asrul yang berarti pertolongan atau kemenangan.

Baca juga: Tingkatkan Kunjungan Wisatawan Nasrul Abit Rencanakan Wisata Mancing Keliling Pulau di Carocok Painan

Sebagaimana anak-anak lainnya, Asrul kecil terus mengalami pertumbuhan. Dari mulai merangkak, belajar berdiri, berjalan, bahkan berlari. Asrul kecil tumbuh sebagai anak yang lucu.

Tidak ada tanda-tanda khusus kelak seorang bayi bernama Asrul akan menjadi orang sukses setelah dewasa.

Yang pasti dengan kehadiran anak laki-laki di kala itu menjadi harapan besar bagi keluarga, terutama sang Ayah.

Karena di samping menjadi obat jariah palarai damam, yakni tenaga baru dalam membantu keluarga, ayahnya menginginkan jika Asrul besar nanti, ia harus menjadi orang yang berhasil.

Asrul tumbuh dalam situasi negara masih tegang situasi politik bangsa yang ikut mewarnai perkembangan jiwanya.

Baca juga: NA-IC Pastikan Kesetaraan Gender dan Disabilitas di Pemerintahan Sumbar

Kisah Ayah dan Amak Nasrul Abit

Nasrul Abit bercerita, ayahnya bernama Abit, sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan bertani.

Di sisi lain, ayahnya adalah anak dagang (perantau), yang berasal dari pulau Lintang Sarolangun, Provinsi Jambi.

Ia merantau ke Air Haji, dan bertemu dengan Amak, kemudian mereka menikah dan membina rumah tangga.

“Ayah adalah seorang pelaut yang ulet. Ia seorang yang visioner dan berpikiran maju,” kata Nasrul Abit, baru-baru ini.

Meskipun ayahnya tidak mengenyam bangku pendidikan formal yang tinggi, hanya setingkat SD lebih khusus pendidikan agama, pandangannya justru lebih jauh menerobos masa depan.

Baca juga: Sumbar Halaman Depan Gerindra Kemenangan NA-IC Marwah Prabowo

“Ayah pernah membayangkan ingin memiliki teknologi penangkapan ikan yang modern layaknya nelayan yang sudah maju, yang sering dijumpainya di laut lepas,” ujarnya.

Ayah, kata dia, juga paham betul akan kurenah alam. Perjalanan bulan dan matahari mampu dihitungnya dengan pas dan tepat.

“Salah satu keahlian nelayan seperti ayah mampu dengan cermat dan tepat menentukan awal dan akhir bulan Qomariah hanya dengan mempelajari tanda-tanda alam yang mengandalkan mata telanjang, melihat perjalanan bintang,” sebut dia.

Amak dari Nasrul Abit bernama Syamsinar berasal dari suku Panai Tanjung, berkulit halus dan berwarna sawo matang. Pekerjaannya adalah ibu rumah tangga biasa.

Namun bagi Asrul, sang ibu merupakan sosok yang luar biasa bagi keluarga. Selain mengurus dirinya bersama kakak dan adik, amak juga sering membantu sang ayah dalam mencukupi nafkah keluarga.

“Amak sebetulnya berasal dari Kampung Pasar Bukit, Air Haji, berjarak sekitar 5 kilometer dari Kampung Tanjak,” kata dia.

Baca juga: Nasrul Abit: Moment Penyelenggaraan MTQ Dahsyatnya Al Qur’an Dalam Wujudkan Sumbar Unggul dan Sejahtera

Di Pasar Bukit ini, banyak bermukim sanak saudara amak Nasrul Abit, bahkan di situ ada pemakaman wakaf keluarga.

Ceritanya, di Labuhan Tanjak, buyut Asrul bernama Banang, di sana mempunyai sedikit pusaka rendah kaum Panai Tanjung.

Sesuai dengan aturan daerah setempat, Amak mendapat bahagian mengelola sebidang tanah dan sawah.

Di tanah dan sawah itu pula sebagiannya digunakan oleh keluarga Asrul untuk mendirikan rumah dan mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari.

Rumah Asrul berupa rumah panggung dengan dua bilik (kamar) dan sebuah ruang utama, layaknya rumah penduduk Pasisie (Pesisir) kebanyakan. Rumah tempat tinggal ini, dibangun pada penghujung tahun 1949.

Desainnya sangat sederhana. Meskipun demikian, rumah itu laksana istana bagi keluarga Nasrul Abit.

Di dinding rumah, pada ruang utama terdapat beberapa foto, di antaranya foto amak dan ayahnya. Lalu lukisan Buraq berbingkai kayu.

Baca juga: Nasrul Abit: Moment Penyelenggaraan MTQ Dahsyatnya Al Qur’an Dalam Wujudkan Sumbar Unggul dan Sejahtera

Ada juga hiasan wajib para nelayan, yakni binatang Bintang Laut yang telah dikeringkan. Ukurannya berdiamter sebesar piring makan, letaknya terpajang dekat pintu masuk.

Ini merupakan tanda khusus, bahwa pemilik rumah adalah keluarga pelaut. Sebagaimana hiasan tanduk rusa bagi para perimba atau pemburu.

Perabot dalam rumah itu juga tidak banyak, hanya sebuah lemari berukuran setengah kali dua meter. Agar tidak rebah, lemari itu dipautkan ke tiang dibalik dinding.

Juga ada ranjang sebagai tempat tidur. Tidak ada barang mewah yang tersimpan di dalam rumah itu.

Dinding dan lantainya terbuat dari papan. Selanjutnya atap terdiri dari susunan daun rumbia.

Kolong rumah cukup untuk anak-anak berlari dan bermain. Biasanya dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan kayu bakar atau untuk kegiatan keluarga lainnya.

Kolong rumah tingginya lebih kurang satu meter dari permukaan tanah. Fungsi lain kolong untuk keamanan, terutama dari serangan binatang buas seperti ular, harimau, babi hutan.

Baca juga: Akan Bangun Motorsport Centre Minangkabau, Nasrul Abit Salurkan Bakat milenial

Rumah panggung juga aman, bila sewaktu-waktu terjadi guncangan gempa bumi. Jadi, rumah panggung merupakan bangunan paling aman untuk ditempati ketika itu.

Dari rumah inilah orang tua Asrul menatap masa depan keluarga yang hidup sangat pas-pasan.

Jika boleh disebut, hidup yang memprihatinkan. Betapa tidak, untuk urusan pangan saja tidak jarang keluarganya hanya makan nasi dan garam berpirik (butiran garam dihaluskan) saja.

Keluarga juga terbiasa makan nasi hanya dengan sambal cabai giling dan rebus daun ubi/singkong dan sayur mayur lainnya. Tidak banyak pilihan dan apa adanya di makan.

“Ayah serta amak selalu menanamkan prinsip-prinsip kehidupan yang jujur, ulet, pantang menyerah, mandiri serta taat kepada Allah SWT,” kata Nasrul Abit.

Bahkan, saat pertama nafas dikandung badan, sang Ayah yang seorang nelayan sudah mengenalkan Asrul tentang pengetahuan bahari.

Perlahan-lahan sesuai pertumbuhan umur dan perkembangan jiwa dan badannya. Ayah Asrul lebih memperjelas soal-soal kelautan beserta isinya, termasuk melatih Asrul dalam memanfaatkan hasil-hasil laut.

“Kamu, ayah latih, agar kamu tahu, seorang nelayan juga harus berfikir, karena laut adalah hamparan pelajaran dan hikmah,” begitu kata ayah Asrul suatu ketika, menasehati dirinya.

Asrul diajarkan bagaimana cara naik perahu, memancing, merajut jaring, memasang mata pancing, dan memperbaiki perahu yang bocor.

Tak ketinggalan diajarkan cara membaca tanda-tanda alam, melihat kisaran bulan, arah mata angin timur atau selatan.

Palangkahan, tentang laut sati rantau batuah, dan pantangan-pantangan yang sejak nenek moyang telah terpelihara.

Sungai dan laut itu adalah laboratorium alam ciptaan Tuhan. Sungai sifatnya tenang, dan sesekali meluap, sementara laut begitu dinamis, berombak, beriak.
Bertemunya karakter sungai dan laut, bagai bersuanya antara kelembutan dan kekerasan, sifat lembut dan tegas, seolah menjadi bagian dari karakter Asrul di kemudian hari.

Ayahnya selalu mengajarkan kepada Asrul kecil, agar menjadi anak lelaki yang kuat, tahan banting dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi persoalan.

“Jika kamu besar kelak, jadilah seperti nelayan, yang terbiasa dengan hantaman gelombang. Ombak besar akan menghadang perahumu, kalau kamu tidak kuat, perahumu akan karam.”

“Jangan melawan pada alam, manusia diberi akal dan pikiran, alam itu harus ditaklukkan dengan akal, bukan dengan emosional,” pesan Ayahnya begitu membekas dalam diri Nasrul Abit.

Ayah Nasrul Abit juga merupakan panutan bagi anak-anaknya dalam bidang keagamaan.

Sang Ayah selalu mengajarkan Asrul mengaji, membaca Alquran, dan shalat, serta pengetahuan agama Islam lainnya sebagai pedoman kehidupannya menuju masa depan nanti. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.