THE FIRST FAMILY

by -

THE FIRST FAMILY

Dhimam Abror Djuraid

Dalam budaya politik Amerika Serikat, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan disebut sebagai “Orang Pertama” atau The First Gentleman.

Sebutan ini kurang akrab karena jarang dipakai. Yang lebih banyak dikenal adalah sebutan “The First Lady” untuk menyebut istri presiden.

Sebutan ini tidak pernah diterjemahkan harfiah ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “Istri Utama” apalagi “Istri Pertama”. Kita lebih sering menyebutnya sebagai “Ibu Negara”.

Keluarga presiden juga disebut sebagai The First Family, dan pesawat kepresidenan disebut sebagai Air Force One, helikopter kepresidenan disebut Marine One.

Melania Trump, istri Donald (yang ketiga setelah Ivana dan Marla Maples) adalah The First Lady, dan putri pertama Trump, Ivanka Trump bersama suaminya Jared Kushner adalah anggota The First Family. Barron, anak ragil Trump dari Melania, juga anggota The First Family termuda berusia 17 tahun.

Kushner, sang menantu, sekarang menjadi orang kepercayaan sang mertua, dan diangkat menjadi penasihat senior presiden meskipun usianya baru 39 tahun.

Kushner menjadi ujung tombak kepercayaan mertuanya dalam berbagai urusan, mulai dari kebijakan luar negeri, perdagangan, sampai ke berbagai urusan dalam negeri.

Menghadapi pemilu presiden 3 November mendatang Kushner menjadi penasihat sekaligus ahli strategi utama Trump meskipun tidak memegang posisi formal.

Ivanka juga menjadi orang kepercayaan Trump meskipun tidak memegang jabatan formal. Ivanka ikut terlibat dalam pertemuan penting Trump dengan berbagai kepala negara. Trump sendiri mengakui bahwa Ivanka adalah orang kepercayaannya.

Keterlibatan suami istri Kushner-Ivanka ini menjadi sorotan. Keterlibatan Ivanka dalam pertemuan-pertemuan strategis juga dipertanyakan.

Sama dengan di Amerika, di Indonesia The First Family juga tengah menjadi sorotan, terutama karena anak dan menantu Presiden Jokowi maju sebagai calon walikota di Solo dan Medan.

Politik dinasti banyak juga terjadi di Amerika. Keluarga Kennedy adalah contohnya. Juga ada kelurga Bush, George Herbert dan George Walker, bapak dan anak menjadi presiden, dan Jebb Bush menjadi gubernur.

Di Indonesia politik dinasti jadi sorotan karena dianggap nepotis dan aji mumpung. Selain anak dan menantu Jokowi, ada putri kandung Wapres Ma’ruf Amin, keponakan Prabowo Subianto, anak kandung Pramono Anung, dan beberapa lainnya.

Sorotan jadi lebih tajam karena muncul desakan agar pilkada serentak ditunda karena penularan Covid 19 yang belum terkendali.

Di Amerika penyebaran pandemi juga belum terkendali. Pilpres November mendatang dilakukan dengan menggunakan pos. Pemilih tidak perlu datang ke TPS, kartu suara dikirim ke rumah dan setelah dicoblos dikirim kembali melalui pos.

Prosedur ini lebih aman secara protokol kesehatan. Tapi, Trump sebagai petahana malah mengkhawatirkan terjadinya “fraud”, kecurangan oleh Komisi Pemilihan, dan karena itu sejak awal Trump minta pemilu ditunda.

Di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Pemerintah bersikeras pilkada serentak 9 Desember jalan terus tanpa ada perubahan mekanisme pemilihah.

Memang ada imbauan penerapan protokol kesehatan yang ketat, tapi dalam praktik banyak diabaikan. Kerumunan kampanye dan arak-arakan masih banyak terjadi.

Pemilih masih tetap harus datang ke TPS, menerima kertas suara dari petugas, mencoblos dengan alat coblos yang dipakai orang lain, dan jari tangan tetap masih harus diberi tinta penanda setelah pencoblosan.

Banyak yang ngeri akan muncul klaster penularan baru. Muhammadiyah dan NU tegas minta penundaan. Jusuf Kalla, ketua PMI (Palang Merah Indonesia) dan mantan wakil presiden, juga minta penundaan.

Ketua KPU Arif Budiman terjangkit Covid 19. Komisioner Pramono Tanthowi juga terjangkit. Beberapa komisioner di daerah terjangkit. Beberapa calon juga terjangkit. Pemerintah bergeming.

Komentar pedas dan nyinyir pun bermunculan. Covid 19 bisa membatalkan jadwal umrah dan haji. Shalat Jumat ditiadakan, shalat jamaah di masjid dilarang, idul fitri dan idul adha dibatasi, tapi pilkada jalan terus.

Presiden Jokowi menegaskan supaya pertimbangan kesehatan diutamakan ketimbang urusan ekonomi. Tapi rupanya urusan politik pilkada mengalahkan urusan ekonomi dan kesehatan.

Ketika ekonomi berada dalam kondisi resesi seperti sekarang berbagai cara untuk menggerakkan roda ekonomi harus terus dicari secara kreatif.

Mungkin pilkada serentak ini dianggap sebagai peluang untuk menggerakkan roda ekonomi karena banyaknya uang gelap dan terang yang beredar.

Uang terang beredar untuk belanja alat kampanye mulai dari spanduk, baliho, dan alat peraga lainnya, termasuk “pengaosan”, bagi-bagi kaos, dan “penerbangan”, bagi-bagi terbang untuk ibu-ibu hadrah.

Uang gelap atau setengah gelap beredar untuk mahar parpol dan dibagi-bagi untuk vote buying pada serangan fajar.

Politik klientalisme yang melibatkan dinasti anak dan menantu adalah praktik yang dianggap lumrah. Politik bagi-bagi uang juga menjadi praktik yang jalan terus.

Guyonan politik lawas mempertanyakan apa beda pilkada dengan pil KB. Pil KB bisa menunda anak, tapi pilkada tidak bisa ditunda karena anak.

Di tengah kontroversi ini Presiden Jokowi, rupanya, menghendaki win-win solution; Di Solo win (menang) dan di Medan juga win. Alamak..
(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.