KEMBALINYA PAK DIRMAN KE YOGYAKARTA; Catatan kilas balik oleh H Rosihan Anwar

by -

KEMBALINYA PAK DIRMAN KE YOGYAKARTA;
Catatan kilas balik oleh H Rosihan Anwar

“YAYASAN” Wiratama 45, Yogyakarta mengundang saya menghadiri peringatan hari bersejarah, yakni 35 tahun kembalinya Panglima Besar Jenderal Sudirman masuk kota Yogyakarta dari memimpin Perang Rakyat Semesta di atas tandu.

Peringatan itu diadakan tanggal 10 Juli 1984, Pukul 10.00 di Piyungan (titik terakhir Pak Dirman di atas tandu. Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam meresmikan Tetenger. Pukul 18.30 di Jalan Widoro No. 9 Kotabaru (bekas kediaman Pak Dirman) Sri Sultan Hamengkubuwono IX menerima kedatangan barisan Napak Tilas (rute gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman– pen.)

Agaknya saya diundang faktor kebetulan telah menyebabkan saya menjadi salah satu pelaku peristiwa bersejarah itu. Maka bagaikan kilas-balik (flashback) dalam film dokumenter, saya ingat lagi beberapa adegan dari bulan Juli 1949.

Adegan Kilas-balik.
Maguwo, lapangan terbang Yogya, penuh dengan rakyat yang menyambut kedatangan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Mereka datang dari pulau Bangka, tempat mereka diasingkan oleh Belanda, sejak terjadinya aksi militer kedua tanggal 18 Desember 1948. Sri Sultan yang mengepalai barisan penyambut, sebelum.pesawat Dakota dari Pabgkal Pinang mendarat, bertanya kepada saya, “Jadikah kau besok pergi ke Pak Dirman?” Saya mengangguk.

Malioboro, pagi-pagi hari. Sebuah kendaraan Landrover datang, dikemudikan oleh Letkol Soeharto. Frans Mendur, fotograf “Ipphos” dan saya naik ke dalam jeep baru itu, dan kami menuju ke Wonosari. Lepas Wonosari, Jeep harus ditinggalkan dan kami naik sepeda beriring-iringan. Soeharto di depan, saya di tengah, dan Frans di belakang.

Tengah hari berhenti sebentar, minum.air kelapa muda. “Mari minum degan”, Soeharto mempersilakan. Selama dalam perjalanan, Soeharto bicara banyak.
Senjakala sudah meliputi daerah Gunung Kendeng yang gersang. Kami masih terus menggenjot sepeda. Jalan gelap, sepeda tidak bisa dipakai lagi, kini harus jalan kaki. Pukul 9 malam tiba di pinggir desa Ponjong, dan di situ dihadang oleh pasukan pengawal terdepan Pak Dirman.

Ponjong, malam hari, di rumah Pak Lurah tempat Pak Dirman menginap. Ajudan Panglima Besar, Kapten Supardjo Rustam mempersilakan masuk. Terlebih dahulu masuk Letkol. Soeharto untuk melapor secara militer, segera sesudah itu saya menyusul dan tatkala berjabatan dengan spontan Pak Dirman berkata, “Saudara Rosihan lah wartawan Republik yang pertama saya ketemu sesudah masa gerilya ini”. Sesudah itu kami duduk bersama, bercakap-cakap seraya Frans Mendur sibuk membuat foto.

Wawancara.
Ponjong, keesokan paginya saya mewawancarai Pak Dirman. Pertanyaan terutama berkisar pada persoalan apakah Pak Dirman dapat menyetujui politik yang digariskan oleh Bung Karno dan Bung Hatta dan dikenal sebagai “tracee Bangka” yaitu menghentikan perang gerilya dan bersedia pergi ke Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, untuk merundingkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sebelum itu, diberitakan Pak Dirman tidak seluruhnya dapat menerima “tracee Bangka”. Untuk menghindarkan kesan terhadap perpecahan di pucuk pimpinan Republik Indonesia, maka Jenderal Soedirman harus dibawa kembali ke Yogyakarta. Letkol Soeharto yang diserahi tugas menjemput Pak Dirman. Jawaban yang diberikan oleh Pak Dirman menunjukkan dia bersedia kembali ke Yogya.

Selesai wawancara, rombongan Pak Dirman bersiap-siap hendak meneruskan perjalanan kembali ke Yogya via Wonosari. Sebelum berangkat dibuat lah foto bersama. Pak Dirman duduk, didampingi oleh Letkol Soeharto berdiri sebelah kirinya, sebelah kanan Letnan Heru Kesser, selanjutnya di barisan belakang berdiri Letkol Suadi, Kapten Supardjo Rustam, sedangkan di barisan depan duduk berjongkok saya beserta Kapten Tjokropranolo. Ikut juga bergambar dokter Irsan dan Kapten Muhammad. Kemudian setelah Pak Dirman masuk tandu, rombongan bergerak berjalan kaki meninggalkan desa Ponjong.

Belum begitu lama berjalan, tiba-tiba rombongan berhenti. Pak Dirman nampak terharu sekali, airmata membasahi pipinya. Pak Dirman terharu karena meninggalkan medan juang gerilya. Sejurus saya memandang sosok tubuh yang mengenakan baju mantel, memakai ikat kepala warna hitam, terhenyak di atas tandu, menekurkan kepala.

Gelombang perasaan apakah yang menjalari sekujur tubuhnya waktu itu? Saya ingat lagi ceritanya kepada saya, bagaimana di waktu bergerilya di suatu tempat dia dipergoki oleh pasukan Belanda, dan tidak sampai dapat ditemukan, lantaran sehari semalam.dia bersembunyi di dalam belukar yang rapat.
“Tetapi sepatu laars serdadu-serdadu Belanda lewat beberapa meter di depan saya, jelas kelihatan”, kata Pak Dirman. “Untung saya tidak batuk-batuk waktu itu,” tambahnya.

Setelah rombongan bergerak lagi, saya pamitan dengan Pak Dirman.

Saya mau lebih dahulu kembali ke Yogya karena berita wawancara yang penting isinya itu hendak saya kirimkan ke redaksi “Pedoman” di Jakarta dengan pesawat terbang UNCI (United Nations Commission for Indonesia). Pihak Belanda di Jakarta pasti akan menaruh perhatian kepada Wawancara dengan Pak Dirman itu. Pak Dirman mengangguk, dan saya pun melepaskan diri dari rombongan, langsung balik ke Yogya.

Alun-alun depan Kraton, sore hari tanggal.10 Juli 1949. Pasukan penghormatan berdiri dengan tertib. Pak Dirman yang siangnya sudah memasuki kota Yogya, dan diantar oleh Kolonel T.B. Simatupang bertemu dengan Bung Karno dan Bung Hatta di Kepresidenan, berjalan kaki perlahan-lahan memeriksa barisan pasukan. Dia diiringi oleh Letkol Soeharto dan Kolonel Suhud, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang sudah tiba dari Sumatera, hadir di upacara di Alun-alun dan berjalan bersama Pak Dirman, juga Mr. Lukman Hakim salah seorang menteri dari PDRI turut serta. Suasana upacara kembalinya Panglima Besar di Alun-alun itu berlangsung sederhana azmat dan penuh persaudaraan.

DEMIKIAN beberapa adegan kilas-balik yang terbayang di layar ingatan. Sejak bulan Juli di desa Ponjong dan di Alun-alun Yogya itu, saya tiada lagi bertemu dengan Pak Dirman. Sebab pertengahan Agustus saya ke negeri Belanda untuk meliput Konperensi Meja Bundar, kemudian awal 1950 terus ke Amerika belajar dramaturgi di Yale Drama Workshop dan North Western University, Cleveland.

Tanggal 26 Februari saya berjalan di kampus Cleveland yang ditutupi salju tebal. Pagi itu sebuah berita kecil “New York Times” menyiarkan tentang meninggalnya Jenderal Sudirman karena sakit. Alangkah bedanya berjalan kaki di padang salju kampus di Cleveland dengan berjalan kaki di Gunung Kendeng yang gersang, ketika saya ikut menjemput Pak Dirman dari daerah gerilya. Dan kini Pak Dirman sudah tidak ada lagi.

ITU LAH cerita 35 tahun yang lalu. Pelaku-pelaku yang ada di Ponjong dulu, kemudian menjadi tokoh-tokoh penting dalam Republik ini Letkol Soeharto menjadi Presiden, Kapten Supardjo Rustam jadi Menteri Dalam Negeri, Kapten Tjokropranolo jadi Gubernur DKI, Kapten Suadi jadi Duta Besar Australia dan di Ethiopia. Tetapi Letnan Heru Kesser tetap jadi rakyat biasa yang banyak amal sosialnya, sedangkan saya sendiri seperti dikatakan oleh S. Tasrif, SH. paling banter akan dicatat sebagai “a footnote of history”, suatu catatan kaki sejarah.

(Joko Kahhar, rewrited dari buku Roto Soewarno, Kisah Perang Kemerdekaan, Pak Dirman Menuju Sobo, Pondok Joang Panglima Besar Jenderal Sudirman, di Pakis Baru, Pacitan, Cet. III, 29 Januari 1988, Penerbit Yayasan Kembang Mas, Jkt. Diangkat dari harian Sinar Harapan, 10 Juli 1984).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.