Catatan : Muharyadi (Bagian Kelima)
Konsep “dima bumi dipijak disitu langik dijujuang” (dimana bumi dipijak disana langit dijunjung) merupakan falsafah urang awak yang meninggalkan kampung halaman atau pergi merantau keluar dari kampung halaman tempat kelahiran kemudian bermukim dan bertempat tinggal di negeri orang. Secara sederhana dapat ditafsir bahwa, dimana kita menginjakan kaki kita harus menghormati adat istiadat ditempat dimana kita berada.
Sebenarnya pepatah ini telah lama kita kenal bahkan sangat familiar di tengah-tengah masyarakat yang memiliki banyak makna positif. Misalnya terkait dengan budaya, dimana ketika kita tinggal disuatu tempat, suatu daerah tertentu, selayaknya kita berperilaku, bersikap dan menghargai budaya setempat dengan adat istiadatnya.
Demikian pula halnya yang dialami oleh pematung nasional “urang awak” Yusman (56 th) asal Sukamenanti, Pasaman, Sumatera Barat salah seorang seniman asal Minang yang menjunjung tinggi dan mengapresiasi nilai-nilai budaya dimana ia tinggal, bermukim dan berkarya dalam beberapa dekade terakhir, tepatnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di Tegal Senggotan RT 02/RW 11 No. 53 Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta.
Hal menarik itu saat pameran dan peluncuran buku “Yusman, Dari Pasaman Untuk Yogya Istimewa” yang ditulis oleh Haryadi Baskoro dan Bahrul Fauzi Rosyidi disebutkan, Yusman pematung yang telah menasional dan mendunia berkarya juga memiliki dedikasi untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yusman salah seorang seniman “urang awak” memiliki keunikan tersendiri, pematung dengan gaya realis dan lebih banyak fokus pada sosok tokoh memiliki sejarah kepahlawanan, perjuangan, patriotisme, nasionalisme dalam bentuk monumen, diantara Jendreal Soedirman, dwi tunggal Soekarno dan Hatta, pahlawan revolusi, presiden RI dan banyak lagi.
Bahkan patung 6 (enam) presiden RI di Istana Bogor yang dikerjakan di akhir jabatan Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono(2014) itu merupakan karya yang terbilang besar sebagai karya monumental berobyekan Presiden Soekarno, Suharto, BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang setiap ruang dan waktu disaksikan tamu-tamu negara termasuk publik di tanah air.
Artinya bagaimana karya patung itu dapat berinteraksi dengan orang yang mengamatinya, baik aspek perjuangan dan ketokohannya di Republik ini.
Selain itu juga terdapat puluhan relief perjuangan yang tersebar di banyak daerah dan provinsi di tanah air, belum termasuk relief penting kerja kolektif di sejumlah tempat dan lokasi di tanah air. Belum lagi karya-karya idealisnya yang cukup menarik perhatian publik di tanah air yang banyak melalui pameran tunggal dan kolektif.
Dalam pameran tunggal, yakni pameran retrospektif “Menandai Indonesia” 32 tahun Yusman berkarya di Jogja Galeri tahun 2017 silam dan launching buku berjudul “Dari Pasaman Menuju ke Istana Presiden” di museum Affandi, Jalan Laksda Adisucipto, No. 167 Papringan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta (2019).
Sederetan karya-karya Yusman saat itu harus dilihat dalam konteks fungsi, berupa fungsi ganda, yakni sebagai media ungkap yang bersifat personal untuk kepuasan subyektif disatu sisi dan bersifat atruistik yang melayani kepentingan pihak lain atau secara umum dikenal dengan istilah Applied art (seni terapan) dan fine art (seni murni), keduanya saling tarik menarik dan memiliki ruang tawar dan sama kuatnya dengan konsewensi yang berbeda, keduanya dapat dicapai dalam waktu bersamaan.
Sementara A. Sudjud Dartando dalam pameran “Menandai Indonesia” 32 tahun Yusman berkarya juga pernah berujar, bahwa Yusman ikut membangun identitas nasional yang siap dibandingkan atribut simbolik.
Karya-karya Yusman dalam sejarah seni patung nasional memang perlu ditempatkan secara khusus dalam mata rantai seni patung Indonesia secara khusus dengan menautkannya dengan kiprah sang maestro Edhi Soenraso sebagai ikon kuat dalam perancangan patung peringatan monumental, kiprah Yusman dapat ditempatkan ke dalam satu tarikan sejarah yang berbeda konteks waktu.
Sebagai pematung yang mencetak rekor membuat diorama terpanjang di tanah air, sosok Yusman tergolong fenomenal. Secara ideologis karya Yusman akan terus diingat seiring dengan fluktuasi spirit patriotisme, dimana kini tengah mendapat tantangan serius. Kekuatan karya Yusman sangat ditentukan oleh sejauh mana orang mengingat patung-patung peringatannya dan kadar nasionalisme masyarakat, tutur A. Sudjud saat itu.
Suwarno Wisetrotomo dalam pengantar kuratorialnya saat pameran tahun 2017 itu menyebutkan, Yusman menebar jejaring kekuasaan. Mula-mula Yusman belajar kepada senior yang juga gurunya Edhie Sunarso dan Kasman KS Piliang, tidak saja soal teknis dan artistik berkarya, tetapi termasuk membangun serta merawat jejaring relasi. Hasil pembelajaran itu dengan sangat cepat dipraktekkan untuk mencari dan menggarap proyek. Intinya Yusman merupakan contoh sosok menarik untuk membicarakan perihal seni, seniman dan kekuasaan dipraktekkan bagaimana ketiganya bartautan.
Namun demikian dalam perjalanan kariernya karya-karya pribadi Yusman dalam mengembangkan sikap dan idealismenya, Yusman senantiasa berkarya tetap saja menggali nilai-nilai budaya lokal yakni Minangkabau sebagai isian dari banyak karya-karyanya.
Misalnya simbol “itiak pulang patang” pada sejumlah karyanya bermakna keselarasan dan keserasian kehidupan masyarakat dengan alamnya, kemudian tata pergaulan dalam kehidupan sehari hari antar individu dalam masyarakat, tata sistim pemerintahan, hubungan sinergitas pada sistim kekerabatan antara mamak dan kemanakan, keteguhan menjalankan prinsip-prinsip hidup dan dan kekompakan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang melatarbelakangi sejumlah karya-karya idealisnya dengan ukuran format yang berbeda.
Dari banyak karya-karya pribadi Yusman ia mencoba mengadopsi falsafah alam minangkabau bersumber dari simbol-simbol ragam hias yang kaya dan sarat makna. Misalnya bersumber dari motif saik kalamai, pucuang rabuang, serta banyak lagi untuk dapat ditelusuri lebih jauh dan lebih dalam guna menggali karya-karya yang diciptakan Yusman diluar karya monumentalnya yang telah tersebar di mana-mana. (Bersambung)