Perkumpulan Dokter, Mungkinkah menjadi IDI Tandingan?;Oleh Dokter M.Nasser

by -

Perkumpulan Dokter, Mungkinkah menjadi IDI Tandingan?;Oleh Dokter M.Nasser

TIBA-TIBA saja muncul perkumpulan dokter baru. Namanya Perkumpulan Dokter seluruh Indonesia (PDSI). Rabu (27/4/22) yang dideklarasikan di Jakarta.

Menurut rilis yang disebarkan, Ketua Umum PDSI itu Brigjen TNI (Purn) dr. Jajang Edi Priyanto, mantan Staf Khusus DR Terawan Adi Putro, Mantan Menkes, yang sudah diberhentikan secara tetap oleh Ikatan Dokter Indonesia. Karena posisi Ketua Umum, orang pun menebak: apakah PDSI didirikan untuk menandingi IDI? Deklarator PDSI tidak terang-terangan membenarkan pertanyaan itu. Ketua Umum PDSI, dibentuk untuk memenuhi hak warga negara Indonesia dalam berserikat dan berkumpul yang dijamin Pasal 28 UUD 1945 selaku konstitusi tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berangkat dari pengalaman diri sendiri yang memiliki banyak perkumpulan atau organisasi para dokter dokter, misalnya saja tahun 1980, tidak lama setelah saya menjadi dokter, seorang senior mengajak saya menjadi anggota Perkumpulan Dokter Pemerhati Lingkungan Hidup.

Saat itu kami menemui ibu Erna Witoelar sebagai Sekertaris Jenderal WALHI dan Pak Emil Salim sebagai Menteri PPLH saat itu. Saya juga punya seorang sahabat yang saat itu sangat aktif di Perkumpulan Dokter Penerima Bea Siswa Supersemar (DPBSS). Tahun 1983 saya bersama beberapa dokter di Jakarta dibawah restu Pak Haryono Suyono kami menghimpun diri dalam Dokter Keluarga Berencana. Tahun lalu kawan seangkatan saya berceritera di Ngawi dan di Makasar sangat aktif dalam Ikatan Dokter Sport Sepeda.

Saya juga sudah lama tahu ada Perhimpunan Dokter NU, ada juga Perhimpunan Dokter Muhammadiyah. Teman saya Dr.Eddy di Surabaya, dulunya adalah aktifis Dokter Katolik. Saya juga tahu ada Dokter Indonesia Bersatu dan ada Perhimpunan Dokter Nusantara. Semua Perhimpunan atau Perkumpulan diatas sama kedudukan hukumnya sebagai bukti adanya hak berserikat warga negara.

Dalam kenyataannya berbagai contoh perkumpulan diatas, ada yang berbadan hukum, ada juga yang tidak. Dalam UU No 17 tahun 2013 tentang Keormasan, ada kewajiban daftar ormas seperti disebutkan pada pasal 15…” Ormas berbadan Hukum terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum…..”

Di Negeri ini kita bebas berserikat sesuai kesamaan pandangan, visi, hobi atau tujuan tertentu. Kalau merasa pas untuk melangkah, penuhi undang-undang untuk pendaftaran Ormas. Bila sudah terdaftar di Kemenhukham, apakah sudah bisa berkiprah sebagai Organisasi profesi? Pertanyaan menarik adalah, apakah perkumpulan-perkumpulan dokter diatas juga sebagai Organisasi Profesi Dokter? Tunggu dulu.

Organisasi profesi sudah diatur, misalnya saja Pasal 1(12) UU No 29/2004, secara sangat jelas tertulis Organisasi profesi dokter adalah IDI dan PDGI. Pasal 1 (12) ini ternyata sudah pernah dilakukan legal review, dan hasilnya bisa dilihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 10/2017 yang tegas menyatakan bahwa IDI sebagai satu-satunya Organisasi Profesi Kedokteran.

Semua Perhimpunan (dan Keseminatan) berada dibawah IDI. Tidak hanya itu setahun kemudian pada putusan MK No 80/2018, pertimbangan Hakim MK juga menyinggung tentang mengapa organisasi profesi dokter itu harus tunggal. Tampaknya Organisasi profesi tunggal untuk dokter justeru untuk memperkuat lini pengawasan praktik kedokteran. Para Hakim melihat bahwa sangat berbahaya bila pengawasan pada dokter tidak diatur sistimatis. Para negarawan unggul ini dalam pertimbangan amar Putusan telah wanti2 menekankan perlunya pengawasan yang berkualitas untuk menghindari praktik dokter yang nakal.

Tidak jauh-jauh terkait dengan putusan MK tadi, kita juga memiliki UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam pasal 50 (2) jelas menyatakan bahwa : …..”satu profesi kesehatan satu organisasi profesinya.”

Jadi, dari tiga undang-undang diatas, nyatalah pada kita proses pendaftaran Badan Hukum Perkumpulan Dokter (atau Perhimpunan apa saja) di Ditjen AHU-Kemenhukham adalah peristiwa administrasi biasa.

Jadi proses itu sampai di situ saja. Tidak akan berlanjut sebagai penetapan organisasi profesi yang mungkin dan berkiprah signifikan. Nah, lho? Berarti PDSI tidak bisa disandingkan, apalagi menandingi IDI? Jelas tidak. PDSI itu sebagai Perkumpulan seharusnya boleh disandingkan dengan Pekumpulan Dokter lainnya seperti Perhimpunan Dokter Sport Sepeda Indonesia yang dipimpin Dr.Wooley atau Perkumpulan Dokter NU yang dipimpin pak Dokter Sjafrizal.

Terus bagaimana dengan pernyataan bahwa anggota PDSI harus keluar dari IDI? Itu pernyataan berlebihan dan tidak berdasar hukum. Dari pandangan sisi hukum, telah menggambarkan para deklarator, kurang mendalami atau kurang mendapat masukan cukup tentang organisasi profesi dokter. Karena pernyataan itu bisa berpotensi mengelabui publik. Seolah-olah IDI mendapat saingan yang sepadan.

Hal lain yang perlu diketahui adalah bahwa keanggotaan IDI bersifat stelsel aktif. Jadi bila ada niat mau keluar dari IDI, ya jangan mengurus dokumen keanggotaan, jangan bayar iuran. Lebih utama lagi seraya buat pernyataan tertulis ke IDI Cabang setempat. Itu tindakan nyata bukan diomongkan verbal yang terkesan emosional dan politis.

Bila berkenan memberi saran, sebagai ladang pengabdian, PDSI maju terus untuk berkarya. Lakukan sesuatu sesuai visi, tidak usah dulu banyak- banyak programnya. Tapi jelas untuk kepentingan banyak orang. Dan karena menggunakan label nama dokter, sebaiknya jangan ada hubungan dengan komersialisme. Sebab, kita semua walau berbeda perahu punya kewajiban moral yang sama yakni menjaga dan mengawal marwah dan martabat luhur profesi kedokteran.

(Penulis, m.nasser, adalah mantan dokter puskesmas daerah terpencil,kini dosen tinggal di Jakarta, 28 April 2022.)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.