Pohon di Tengah Bandara Minangkabau

by -
Pohon di Tengah Bandara Minangkabau
Detail karya Pohon Hikayat 2024

Oleh: Anton Rais Makoginta

SEMANGATNEWS.COM – Beberapa hari yang lalu saya tiba di bandara Minangkabau. Setelah menuruni tangga kadatangan, saat berbelok ke kiri, pandangan mata tertumbuk pada jejeran seni instalasi yang mengisi sudut ruangan. Sebuah pemandangan baru sejak bandara ini dioperasikan 2005, bisa disebut suatu kemajuan, membawa karya seni ke tengah padang lautan manusia yang lebih beragam.

Baca Juga: Memaknai Relief Perjalanan dan Perjuangan Bung Hatta

Tiga karya dari empat seniman yang tertata cukup rapat, belum selesai melihat satu karya, karya yang lain ikut pula menyunduk mata ini. Namun untuk kali ini saya akan menceritakan satu karya saja, agar kita bisa merenungkan satu persatu nantinya. Karya pertama yang terlihat dari kumpulan tersebut adalah yang pokok perupaan sebatang pohon berdiri tegak dari lantai keramik sampai menjunjung lantai 2 di atasnya, dan satu bagian karya dengan pokok perupaan yang sama tersandar pada tiang bangunan.

Detail karya Pohon Hikayat
Detail karya Pohon Hikayat

Ingatan saya langsung pada seniman yang telah biasa mengerjakan karya berbentuk demikian, ternyata bukan seniman yang telah biasa dilhat tersebut. Karya yang ini gubahan Romi Armon, biasa kami panggil dengan Konti dari Kuranji, Mudiak Limo Puluah Koto. Terbersit pertanyaan saat itu, apakah ini karya plagiat?

Dalam seni rupa, ukuran plagiat belum pasti. Ini juga gambaran karya sebagian şeniman Indonesia pada umumnya, rujukan visualnya merujuk pada seniman lain. Polahnya beragam; ada yang apropriasi, homage to, memasukkan nilai ke-indonesian. Sejak kemodern masuk ke negeri ini, pendahulu kita memutus kebudayaan yang lampau dan mencari kebudayaan baru, hasilnya sampai sekarang kita selalu mengadopsi darimana saja, tertama barat. Tentu saja hal tersebut sudah dianggap lumrah di tanah bekas jajahan ini. Anehnya ingin pula melisensi bahwa ini adalah autentik kebudayaan kita.

Romi Armon, Pohon Hikayat, plastik nilon, kain katun, busa, foaming,acrylic, rubber, besi, 2024
Romi Armon, Pohon Hikayat, plastik nilon, kain katun, busa, foaming,acrylic, rubber, besi, 2024

Material yang digunakan pada karya ini berbeda sekali dengan “mursyidnya”, pohon dari kain akan lentur sehingga perlu ditopang dan digantung. Dalam karya ini terdapat penopang dan ring penggantung untuk dahan pohon. Lantaran medianya berbeda dengan karya, yang lentur bercampur baur dengan yang keras berdenting, produk alami dengan industri.

Pohon Hikayat, begitu judulnya, ditambahi oleh kurator Mahatma Muhamad “sejarah kelam tambang ombilin”. Sangat jelas sekali bagaimana pohon disimbolkan sebagai saksi-sekaligus korban dari kelamnya perjalanan hidup masyarakat seputar tambang Ombilin di saat bangsa kolonial menguasai negeri ini. Pohon yang menjadi korban pembangunan tambang ombilin hadir saat ini di bandara Minangkabau, ironisnya bandara yang dibangun turut serta menghilangkan pohon sebelumnya.

Isu ini memiliki mursyid, katakanlah Sao Paulo Biennale 2022, Venice Biennale Italia 2024 dengan isu dekolonialisasi, sepertinya menjadi meta-isu yang menjalar pada perkembangan wacana seni ke negara-negara lain. Tentu saja kajian-kajian dekolonilisasi dan post-kolonial telah lama berkembang.

Menghadapi jenis karya model filosofis, saya tak mau didikte oleh seniman dan kurator dalam melihat, dan itu hak setiap apresian seni. Dalam kacamata Minangkabau, pohon di tengah orang ramai biasanya menggambarkan sosok “ninik mamak” (laki-laki minangkabau). Pohon beringin di tengah padang, akarnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, daunnya tempat berlindung. Dalam karya ini, semua itu tidak kelihatan, akarnya tidak ada, hanya karpet merah sebagai alas, batangnya lentur tak sanggup menopang punggung yang akan bersandar, daunnyapun tak kelihatan. Bukan tanpa alasan seniman menghadirkan demikian.

Karya ini merupakan gambaran ninik mamak Minangkabau saat ini, para mamak yang berpusaka pada kemenakan dalam kebudayaan matriarkat itu telah sibuk menghabiskan waktunya memangku dan membimbing anaknya, hidup di rumah dengan anak isterinya, kemenakan ditemui sekali-kali dan merekapun telah hidup dengan ayahnya. Mamak telah termakan sumpah, termakan bisa kawi, ke atas tak berpucuk ke bawah tak berurat, di tengah dilarik kumbang.

Perubahan kebudayaan dari matriarki ke patriarki tentu telah terjadi sangat lama, tidak ujug-ujug dengan simsalabin. Ada beberapa titik perubahan besar, sejak pergerakan Paderi di Minangkabau, kedatangan bangsa Jepang, serta PRRI. Gelombang besar ini merubah tatanan hidup mamak dengan kemenakan. Mamak kehilangan wibawa, ibarat pohon yang tidak kuat lagi, ia layu serta ringkih, perlu ditopang, seperti gambaran dari karya seniman. Walaupun ada juga sebagian mamak berusaha melekatkan gelar kebesaran ninik mamak padanya dan berusaha dekat dengan kemenakan, semacam kehormatan tampak di luar, ia pun hidup dengan anak dan isterinya. Namun itulah perubahan, dan itulah Minangkabau, ia berdiri sendiri layu dikelilingi dan bersandar pada beton yang keras. Walaupun tidak semua ninik mamak minangkabau demikian, masih ada beberapa dihormati karena kaya akan adat dan lembaga, bukan kaya mempunyai banyak produk industri.

Melihat display karya ini masih dibuat ekslusif, tak bisa didekati dan apalagi disentuh, bak di galeri ataupun museum. Artinya, pertimbangan material karya publik perlu diperhitungkan. Sehingga usaha mendekatkan karya seni pada masyarakat yang lebih luas bisa maksimal dan tidak dibatasi dengan pita orange.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.