Sisi Gelap Seni Rupa

by -
Sisi Gelap Seni Rupa
Sisi Gelap Seni Rupa

Oleh Ibrahim
Pemerhati Seni Supa

JAKARTA, SEMANGATNEWS.COM – Publik seni rupa tentu masih ingat tahun 1969 silam dimana terjadinya “kegaduhan” pada pameran koleksi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) di Taman Indonesia Indah Jakarta. Yang paling fenomenal dari kegiatan itu adalah ucapan maestro Oesman Efendi (OE) terkait “bahwa seni lukis Indonesia tidak ada”.

Baca Juga: Seni Rupa : Hati-Hati Seniman Rendah Bisa Menimpa Seniman Tinggi Dalam Berkarya

Sebagai pemikir seni yang tajam dan kritis OE tentu tidak sembarangan mengatakan “seni lukis Indonesia tidak ada” dan tuduhan itu jelas berangkat dari pemahan yang kuat dan memang sulit untuk di bantah bahkan sampai saat ini. Sebagai sebuah “paradigma seni rupa” seni lukis tentu memilki pengaruh yang kuat terhadap “diakuinya” produk-produk seni-seni lainnya seperti patung, grafis dan setelah itu instalasi, new media art dan seterusnya. Dengan mengatakan “seni lukis Indonesia tidak ada” tentu menimbulkan gejolak yang luar biasa pada saat itu di mana seni lukis khususnya begitu digandrungi oleh seniman Indonesia.

Menjawab kritikan OE Agustus 1975 munculah Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB) dan pada pameran pertamannya banyak menghadirkan karya-karya yang saat itu disebut “liar”. Dengan kecendrungan demikian hal yang tidak bisa dihindari GSRB adalah para kritikus seni seperti Sananto Yuliman maupun Jim Supangkat misalnya dihadapkan pada “sulitnya” mengidentifikasi, mengklasifikasi dan mencarikan premis untuk mengafirmasi karya-karya yang di hadirkan oleh seniman-seniman GSRB. Kemudian visi ingin lepas dari paradigma seni Barat malah membuat keadaaan menjadi anonim kendati karya GSRB banyak dipengaruhi oleh karyakarya seperti Dadaisme dan Pop Art.

Justru yang mudah untuk dibaca adalah hasrat ingin lepas dari jebakan paradigma seni lukis (Barat) malah masuk ke “ruang gelab” yang sama sekali tidak bisa dikenali itu apa dan bagaimana cara menilainya selain menyebutnya sebagai “seni rupa baru”. Ujung dari keadaan demikian memuculah paradog yang di satu sisi ruang gerak seniman menjadi lebih eksploratif namun di sisi lain menimbulkan pengaburan kognisi pemerhati seni yang tidak memilki “paradigma alternatif” dan terminologi dalam mengafirmasi karya-karya seniman GSRB tersebut.

Di akui atau tidak Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB) bisa di katakan sebagai usaha untuk menjawab fikiran-fikiran kritis OE terhadap identitas seni rupa Indonesia. Namun yang menjadi catatan penting OE terkait pernyataan “seni lukis Indonesia tidak ada” jelas bukan sebatas kalimat sederhana yang mengalir begitu. Sebagai generasi yang tumbuh dari akar kebudayaan yang kuat OE melihat “seni lukis Indonesia tidak ada” bukan hanya dilihat dari aspek material dan cara berkesenian kendati ujung kalimat OE adalah “seni lukis Indonesia tidak ada”.

Dibalik itu OE juga mengajak seniman untuk masuk ke dalam wilayah yang bersifat filosofis.

Dengan kata lain kesenian tidak hanya di nilai dari aspek keindahan visual-material tapi sampai ke pada hal-hal yang melandasi keberadaan karya seni itu sendiri. Bahasa yang sedikit rumitnya adalah fikiran-fikiran OE terkait “seni lukis Indonesia tidak ada” adalah persoalan sisi epistemologi seni yang sebelumnya di gunakan untuk menilai dan melihat karya seni itu. Sebab bagaimanapun seniman di masa GSRB misalnya berupaya untuk mengindar dari praktek seni lukis, tetapi secara epistemoligis pembacaan seni bahkan sampai saat ini masih bersandar pada warisan kolonial yang jika tidak di tinjau ulang, maka dampaknya bukan hanya pada tuduhan OE “seni lukis Indonesia tidak ada” tapi bisa meluas pada “seni rupa Indonesia tidak ada”.

OE sungguh telah melampaui zamannya dengan membuat masyarakat kesenian terus bekerja keras mencari alternative berfikir agar pembacaan seni rupa Indonesia lebih “berakar”. Setelah memantik GSRB, kemudian muncul event “Manifesto Seni Rupa Baru” 1987 dan “Manifesto Seni” 21 Mei 2008 yang juga diyakini mengusung persoalan yang sama.

Kendati butuh waktu kurang lebih 38 tahun untuk menjawab tantangan OE, pameran “Manifesto Seni” telah membuka kembali persoalan “akar seni rupa Indonesia” yang masih belum selesai. Maka melalui “Manifesto Seni” para kritikus, kurator, akdemisi dan 345 seniman berkolaborasi untuk mengafirmasi sekaligus merayakan lahirnya terminologi seni rupa yang berbau Indonesia.

Mengiris gagasan dan pemikiran yang tertuang dalam “Manifesto Seni” sungguh terdapat peluang yang bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Jika di buka seterang-terangnya

“Manifesto Seni” berpotensi menjadi “kolonialisme” seni rupa Indonesia namun dalam bentuk yang lain. Kenapa bisa se-ekstrim itu? Indikatornya adalah “Manifesto Seni” secara konstruktif berupaya membangun terminologi seni yang mana itu beranjak dari salah satu akar sub budaya di Indonesia dan kemudian istilah di balik kata “seni” yang di konstruksi “Manifesto Seni” itu di letakkan kedalam bingkai pemahaman seni rupa Indonesia. Sebagai bangsa yang bergam tentu gagasan “Manifesto Seni” sadar atau tidak lambat laun akan bertransformasi menjadi “kuasa narasi seni rupa Indonesia” yang selanjutnya menyeragamkan keberagan kognisi-budaya Indonesia dalam bingkai terminogi seni rupa yang diciptakan “Manifesto Seni” tersebut.

Konsekwensinya adalah ketika berbicara seni rupa Indonesia dalam kerangka teoritik, masyarakat seni akan “dipaksa” merujuk pada salah satu sub kubudayaan yang kemudian mau tidak mau terminologi itu di gunakan untuk mengukur pencapaian kesenian budaya lain yang ada di Indonesia. Ujung ujungnya adalah apa yang sebelumnya di sebut sebagai usaha menghindar dari narasi besar seni rupa Barat namun menciptakan narasi keseragaman di antara keberagaman.

Ini seperti membuat kutub yang berbeda dengan “Manifesto Seni Surat Kepercayaan Galanggang” Asrul Sani dan Muktar Apin yang berbunyi “Wujut pernyataan yang bebas, jujur, universal dan tidak terkait dengan enik dan hegemoni tertentu”.

Terlepas dari “sisi-sisi gelap” seni rupa Indonesia tersebut, hal yang tidak kalah menarik dalam dunia seni rupa adalah persoalan yang datang dari seniman itu sendiri. Apapun kejadiannya seniman tetap saja bisa berkarya walau aktualisasi pemikiran atau premis kesenian yang berbau Indonesia tidak melatar belakangai proses penciptaan mereka. Ini di buktikan banyaknya seniman seniman sukses yang rata-rata menghadirkan dan menjadikan lukisan sebagai karya-karya masterpiece mereka.

Apalagi jika persoalan ini di kaitkan dengan serapan pasar terhadap karya seni rupa yang dari tahun ke tahun bisa di katakan tidak mempersoalkan “sisi-sisi gelap” seni rupa tersebut. Sehingga aneh juga jika kesenian harus di kait-kaitkan dengan hal yang tidak berdampak langsung pada proses kreatif yang seminan lakukan.

Tanpa mengenyampingkan aspek-aspek ekonomis dan praktis dari aktifitas kesenian, barangkali ada sudut pandang lain yang patut menjadi catatan bersama. Mereka para pecinta seni, kritikus, masyarakat umum, akademisi atau disiplin ilmu di luar seni, tentu ingin menikmati dan memahami seni dengan cara yang lain.

Seandainya seni dilihat dan di bicarakan dari aspek teknis dan ekonomis maka seni hanya bernilai dekoratif/hiasan belaka yang fungsi utamannya tidak lain sebagai transposisi penunjang aktifitas manusia saja. Tetapi jika sedikit mau bekerja keras untuk mengelaborasinya maka di balik dari kekuatan artistik karya seni itu, terdapat refleksi dan sensibility yang akan menyentuh dimensi keilmuan yang pada akirnya seni bisa memproduksi dan menawarkan pemikiran-pemikiran.

Di luar dari proses penciptaan karya bagaimana pula seni rupa bisa menawarkan kemerdekaan kognisi namun tetap memiliki karakteristik apakah dalam menilai, menentukan dan meletakkan keseniannya sendiri yang nantinya nantinya akan memberikan warna/pembeda/ciri tersendiri dalam pembacaan keberagaman seni rupa di dunia yang terus berkembang dan mencair.

Namun jika ini bukan sesuatu yang menarik dan penting bagi masyarakat kesenian maka tetap berada dalam “sisi gelap seni rupa” merupakan pilihan yang paling logis. Dan satu pertanyaan yang tidak perlu di jawab setelah itu adalah “apa mungkin sesuatu yang belum merdeka bisa merepresentasikan kebebasan bahkan kemerdekaan itu sendiri (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.